Halaqah 183 ~ Ahlu Sunah Ber-amar Ma’ruf Nahi Mungkar Bag 02

Halaqah 183 ~ Ahlu Sunah Ber-amar Ma’ruf Nahi Mungkar Bag 02

📘 Halaqah Silsilah Ilmiyah – Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله


Halaqah yang ke-183 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Hukum beramar ma’ruf nahi mungkar.

Di dalam sebuah hadīts yaitu hadīts Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasūlullāh ﷺ mengatakan,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia ubah dengan tangannya.”

Fayughairuhu (فليغيره) perintah untuk mengubah. Wajib bagi orang yang melihatnya untuk mengubah kemungkaran tersebut, untuk mengingkari kemungkaran tersebut. Dan yang dimaksud dengan tangannya di sini adalah dengan kekuasaan.

Kalau dia memiliki kekuasaan sebagai seorang gubernur atau bupati atau camat atau lurah, RT, kalau di tingkat paling bawah kepala keluarga.
Dia melihat kemungkaran yang ada di rumahnya maka dia hilangkan kemungkaran tadi dengan kekuasaan yang dia miliki.

Barangsiapa yang melihat yaitu melihat sebuah kemungkaran dan ucapan beliau mungkaran (منكراً) sebuah kemungkaran yang memang kita yakin itu adalah sebuah kemungkaran (kemaksiatan) bukan perkara yang diperselisihkan pendapatnya di antara para ulama Ahlus Sunnah wal Jamā’ah.

Tapi itu adalah sebuah kemungkaran yaitu sebuah kemaksiatan (sebuah dosa) maka kita harus mengingkari adapun perkara yang merupakan perkara yang ijtihadiyyah maka tidak boleh untuk menyamakan ini dengan mengingkari sebuah kemaksiatan.

Kalau kita ingin menjelaskan secara ilmiyyah di antara tiga pendapat atau empat pendapat ini yang rajih adalah ini, tafadhal. Yaitu kita menjelaskan secara ilmiyyah tapi tidak kita namakan mengingkari kemungkaran.

فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ

Kalau dia tidak mampu yaitu tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan kekuasaannya.

Dia bukan orang yang memiliki kekuasaan sementara dia melihat kemungkaran. Apakah kemudian dia diam? Di sana ada cara yang lain فَبِلِسَانِهِ, maka dia mengingkari kemungkaran dengan lisannya. Yaitu dengan memberikan nasihat.

“Yaa fulan, ana ingin berbicara sebentar antum tahu tidak hadīts Nabi ﷺ yang berbunyi demikian dan demikian?”

Sebelum kita mengatakan ini adalah haram, dia sudah tahu bahwasanya ini adalah perkara yang diharamkan. Terkadang demikian dan mungkin dalam keadaan yang lain perlu kita jelaskan makna dari hadīts tadi. Ini namanya mengingkari kemungkaran dengan lisan.

Kita tidak punya kekuasaan tapi kita punya lisan yang dengannya kita bisa mengubah kemungkaran tersebut.

فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ

Kalau dia tidak mampu.

Dengan lisannya dia juga tidak mampu, bukan berarti dia tidak bisa bicara, tapi dia bukan orang yang punya ilmu sehingga dia bisa menyampaikan dengan baik, bisa menjelaskan dengan baik. Justru dikhawatirkan ketika dia berbicara akan menambah keadaan lebih parah misalnya.

Maka dalam keadaan demikian فَبِقَلْبِهِ dia mengingkari kemungkaran dengan hatinya, dengan cara membenci, harus ada di dalam hati kita kebencian terhadap kemungkaran tadi. Panas dan tidak senang melihat kemungkaran tadi dilakukan.

Nah ini tentunya yang demikian harus ada pada diri seorang muslim, sampai orang yang mengingkari dengan kekuasaan dia mengingkari dengan kekuasaan dan di dalam hatinya ada kebencian.

Ada kebencian ditambah lagi dia mengingkari dengan kekuasaan. Orang yang mengingkari dengan lisan ada kebencian di dalam hatinya dan dia tambah dengan mengingkari kemungkaran tersebut dengan lisannya.

Kalau tidak ada itu semua, maka minimal dengan قلب dengan hatinya dia mengingkari kemungkaran tersebut yaitu dengan membenci. Harus ada kebencian, karena kalau tidak ada kebencian, berarti di sana ada kecintaan atau keridhaan. Kalau sampai di dalam hatinya ada kecintaan atau keridhaan maka ini bisa sampai keadaan dia seperti orang yang melakukan.

Meskipun dia tidak melakukan tapi kalau di dalam hatinya ada keridhaan dikhawatirkan kedudukannya seperti orang yang melakukan. Meskipun dia secara dhahir tidak melakukan. Maka kita harus ada kebencian di dalam hati.

وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.”

Minimal keimanan adalah dengan cara membenci kemungkaran tadi, kalau kita tidak bisa mengingkari kemungkaran dengan lisan maupun dengan kekuasaan.

Dan hukum beramar ma’ruf nahi mungkar adalah fadhu kifayyah. Kalau memang di sana ada sebagian orang yang sudah beramar ma’ruf nahi mungkar maka ini gugur bagi yang lain.

Namun ada satu keadaan di mana mengingkari kemungkaran tersebut atau dakwah ini bisa menjadi sebuah kewajiban yaitu kalau misalnya tidak ada orang lain selain dia yang berdakwah di jalan Allāh ﷻ. Maka dalam keadaan demikian bisa menjadi sebuah kewajiban yang wajib ‘ain bagi seseorang.

Tadi disebutkan بِٱلْمَعْرُوفِ yang dimaksud dengan ma’ruf adalah segala sesuatu yang dicintai oleh Allāh ﷻ, baik berupa iman maupun amal shalih. Adapun kemungkaran maka segala sesuatu yang diharamkan oleh Allāh ﷻ dan dilarang oleh Allāh ﷻ.

Maka inilah sikap Ahlus Sunnah wal Jamā’ah, karena kecintaan mereka kepada Allāh ﷻ maka mereka beramar ma’ruf nahi mungkar.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى