Halaqah 24 ~ Simpul 19 – Kecintaan yang Besar terhadap Ilmu dan Berusaha Membesarkan Kecintaan tersebut

Halaqah 24 ~ Simpul 19 – Kecintaan yang Besar terhadap Ilmu dan Berusaha Membesarkan Kecintaan tersebut

📘 Kitab : Khulashah Ta’dzhimul Ilmi


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله

Halaqah yang ke-24 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Khulāshah Ta’dzhimul ‘Ilm yang ditulis oleh Fadhilatu Syaikh Shālih Ibn Abdillāh Ibn Hamad Al-Ushaimi hafidzahullāhu ta’ala.

المعقد التاسع عشر

Simpul yang ke-19 di antara simpul-simpul (prinsip-prinsip) yang dengannya kita bisa mengagungkan ilmu

شَغَفُ القلب بالعلم

kecintaan yang besar yang dahsyat terhadap ilmu

وَغَلَبَتُه عليه

dan berusaha untuk memenangkan (membesarkan) kecintaan tersebut, menjadikan kecintaan dia terhadap ilmu berkuasa menguasai hatinya, ini adalah bentuk pengagungan kita terhadap ilmu kita berusaha untuk membesarkan kecintaan kita terhadap ilmu.

فصدق الطَّلب له يوجب محبَّته، وتعلُّقَ القلب به، ولا ينال العبدُ درجةَ العلم حتَّىٰ تكون لذَّته الكبرىٰ فيه

Maka kesungguhan (shidq) di dalam mencari ilmu, shidq di sini adalah kejujuran, dan sudah berlalu yang dimaksud dengan kejujuran dalam menuntut ilmu itu adalah mengumpulkan seluruh keinginan untuk ilmu.

Sudah kita terangkan kita ini banyak keinginan, ingin mobil ingin harta ingin itu dan ini maka termasuk kejujuran kita dalam menuntut ilmu adalah kita kumpulkan keinginan-keinginan tadi untuk mendapatkan ilmu, akibat dari kita mengumpulkan keinginan tadi untuk ilmu adalah akhirnya kita akan mencintai ilmu tersebut, itu akan membawa kita mencintai ilmu tersebut.

Jadi kalau kita ingin memiliki syaghaf (kecintaan yang sangat terhadap ilmu) maka kita harus mengumpulkan keinginan-keinginan tadi untuk mendapatkan ilmu tadi, dan ini akan menyebabkan hati kita memiliki hubungan yang sangat erat dengan ilmu.

Dan seorang hamba tidak akan mendapatkan derajat (ketinggian) di dalam ilmu sampai kelezatan (kenikmatan) dia yang paling besar di dalam ilmu tadi, kita tidak akan mendapatkan ketinggian ilmu sampai kita merasakan bahwasanya kita ini merasa nikmat dan merasa lezat ketika kita berkecimpung dengan ilmu.

Kalau kita sudah sampai derajatnya nikmat bersama ilmu, menghadiri majelis ilmu nikmat menulis nikmat memikirkan ilmu nikmat, kalau sudah sampai disitu ini kita sudah sampai derajat yang tinggi dalam masalah ilmu kalau kita sudah merasakan kenikmatan kita bukan ketika kita bertamasya bukan ketika kita di mall bukan ketika kita berjalan-jalan tapi kita mendapatkan kelezatan ketika kita memikirkan ilmu, ini sudah sampai derajat yang tinggi, bagaimana seseorang bisa mendapatkan kelezatan tadi

وإنمَّا تُنال لذَّة العلم بثلاثة أمورٍ

Kelezatan ilmu tadi itu bisa didapatkan dengan tiga perkara, kalau seseorang sudah merasakan lezatnya nikmatnya di dalam ilmu ini mengalahkan yang lain, mengalahkan orang-orang kaya mengalahkan para penguasa dan raja-raja di dunia mengalahkan kelezatan yang mereka rasakan, kalau seseorang sudah sampai nikmat di dalam ilmu maka dia akan merasakan nikmat yang luar biasa yang tidak dirasakan oleh raja-raja di dunia.

ذكرها أبو عبد الله ابن القيِّم

Disebutkan oleh Ibnul Qayyim Abu Abdillah (kunyahnya) rahimahullāh

أحدِها

yang pertama adalah

بذل الوُسْع والجَهْد

kalau kita ingin mendapatkan lezatnya ilmu maka maka kita harus mengeluarkan / mengerahkan kekuatan kita dan kemampuan kita kesungguhan kita dalam menuntutnya.

Hadir di majelis ilmu, menghafal, bangun di malam hari untuk murajaah, bertanya, kita kerahkan tenaga kita, kalau kita malas-malasan dan setengah-setengah tidak mengerahkan seluruh kemampuan kita untuk mendapatkan ilmu maka kita tidak akan mendapatkan kelezatan ilmu.

وثانيها

Dan yang kedua adalah

صدق الطَّلب

jujur dalam mencari, kejujuran dalam mencari yaitu dengan cara kita mengumpulkan seluruh keinginan kita, kita tumpahkan semuanya untuk menuntut ilmu

وثالثِها

dan yang ketiga adalah

صحَّة النِّيَّة والإخلاص

kebenaran niat dan juga keikhlasan.

Dan sudah berlalu niat dalam menuntut ilmu, ana ingin menghilangkan kebodohan yang ada pada diri ana, ana ingin menghilangkan kebodohan pada diri orang lain, ana ingin menjelaskan nanti ke keluarga ana ingin menjelaskan ke teman-teman ana yang benar adalah seperti ini.

Atau niatnya adalah ingin menghidupkan ilmu yang sebelumnya mati di dalam dirinya dia hidupkan dengan cara menuntut ilmu, yang sebelumnya mati di hati orang lain maka dia hidupkan dengan cara dia menuntut ilmu terlebih dahulu dan ingin menghidupkan ilmu tersebut di hati-hati orang lain.

Kemudian yang keempat adalah ingin mengamalkan ilmu tadi, kalau niat kita ikhlas dan kita dengan fisik kita kita keluarkan dan kita kerahkan kemampuan kita dan hati kita atau keinginan kita kita satukan untuk mendapatkan ilmu tadi maka ini dengan tiga hal seperti ini kita insyaAllāh akan merasakan lezatnya ilmu.

ولا تَتِمُّ هٰذه الأمور الثَّلاثة، إلَّ مع دفع كلِّ ما يُشْغِلُ عن القلب

Dan tidak akan sempurna tiga perkara ini kecuali apabila kita menolak segala sesuatu yang menyibukkan dari hati kita, segala sesuatu yang menyibukkan yang memalingkan dari hati kita maka hendaklah kita tolak kalau kita menolak maka akan sempurna tiga perkara ini.

Adapun seseorang dia bersungguh-sungguh dan dia kumpulkan seluruh keinginannya dan dia punya niat yang ikhlas tapi dia senang melakukan perkara-perkara yang menyibukkan hatinya yang melalaikan hatinya, tidak dia hindarkan dan tidak dia jauhi maka ini juga sulit bagi seseorang untuk mendapatkan lezatnya ilmu.

Ini yang mengucapkan Ibnul Qayyim seorang ulama dan dia sudah merasakan lezatnya ilmu tersebut, dia sampaikan cara ini kepada kita supaya kita juga ikut merasakan apa yang dirasakan oleh para ulama.

إنَّ لذَّة العلم فوق لذَّة السُّلطان والحكم الَّتي تتطلَّع إليه ونفوسٌ كثيرةٌ، وتُبذَل لأجلها أموالٌ وفيرةٌ، وتُسفَك دماءٌ غزيرةٌ

Beliau menyebutkan tentang bagaimana nikmatnya ilmu, Sesungguhnya lezatnya ilmu itu di atas lezatnya seorang penguasa atau lezatnya kekuasaan, jabatan kekuasaan lezat, antum jadi seorang penguasa petinggi antum memerintahkan menyuruh melarang mengeluarkan peraturan nikmat tapi ternyata kelezatan ilmu itu lebih tinggi.

Antum menjadi seorang penguasa dilayani oleh orang lain ketika antum ke sana disambut dilayani dihidangkan makanan yang paling lezat ditawari dihormati sebuah kelezatan, tapi ternyata kelezatan ilmu ini lebih tinggi daripada kelezatan jabatan tadi kedudukan tadi, kelezatan yang di mana banyak orang yang mencari-cari kelezatan tersebut.

Orang berebutan ingin menduduki kedudukan tertentu di sebuah instansi, ana ingin jadi seorang direktur ana ingin menjabat jabatan tersebut, berebutan mungkin sampai mengeluarkan uang

وتُبذَل لأجلها أموالٌ وفيرةٌ

sampai mereka berani untuk nyogok demi untuk mendapatkan kelezatan kedudukan dan jabatan tadi

وتُسفَك دماءٌ غزيرةٌ

bahkan ditumpahkan darah demi untuk mendapatkan kedudukan tadi, kalau perlu saingannya tadi mati demi untuk mendapatkan kedudukan tadi, tapi ternyata kelezatan ilmu itu jauh lebih tinggi lebih lezat daripada kelezatan kekuasaan.

ولهذا

Oleh karena itu

كانت الملوك تتوقُ إلىٰ لذَّة العلم، وتُحِسُّ فقدَها، وتطلُب تحصيلَها

Buktinya kelezatan ilmu itu jauh lebih tinggi dan lebih lezat daripada kelezatan kekuasaan, dahulu para raja mereka tatūq (rindu) untuk mendapatkan kelezatan ilmu, berarti mereka belum merasakan kelezatan tadi mereka rindu untuk merasakan kelezatan ilmu dan mereka merasakan kehilangan kelezatan tadi dan mereka berusaha untuk mendapatkannya. Ada sebuah kisah

قيل لأبي جعفرٍ المنصور

Dikatakan kepada Abu Ja’far Al-Manshur

الخليفةِ العباسيِّ المشهور

seorang khalifah dari Bani ‘Abbas yang terkenal

الَّذي كانت ممالكه تملأ الشَّرق والغرب

di mana kekuasaan beliau saat itu meliputi dari timur ke barat, apa yang beliau ucapkan didengar beliau dihormati dan disegani oleh orang banyak.

هل بقي من لذَّاتِ الدُّنيا شيءٌ لم تنله؟

Pernah ditanyakan kepada beliau, karena beliau tentunya sudah merasakan berbagai kenikmatan dunia mungkin kenikmatan harta kenikmatan wanita kenikmatan jabatan dan seterusnya. Apakah ada dari kelezatan dunia yang belum kamu rasakan

فقال

maka beliau menjawab

وهو مستوٍ علىٰ كرسيِّه وسرير ملكه

beliau menjawab dan saat itu beliau berada di atas kursinya dan di atas singgasana kerajaannya, jadi ditanya dan beliau dalam keadaan berada di atas singgasana kursi kebesaran

بقيت خَصلةٌ

kata beliau, ada satu kenikmatan yang belum pernah ana rasakan

أن أقعُدَ علىٰ مِصْطَبَةٍ

kenikmatan tersebut adalah aku duduk di atas mishthabah (sesuatu yang agak tinggi), zaman dulu ketika ada majelis ilmu maka gurunya duduknya di tempat yang agak tinggi daripada murid-muridnya supaya murid-muridnya melihat beliau, aku ingin duduk yaitu aku duduk di atas mishthabah, di atas sesuatu yang agak tinggi

وحولي أصحاب الحديث – أي طاَّبُ العلم

dan aku berkeinginan di sekitarku ini adalah para penuntut hadits, orang-orang yang mencari hadits Nabi ﷺ yang dia melakukan rihlah perjalanan yang panjang untuk mencari hadits, aku ingin duduk sebagai seorang guru di atas tempat yang agak tinggi kemudian mereka berada di sekitarku yaitu para penuntut ilmu

فيقول المستملي

kemudian berkata mustamliy (orang yang ada di depan seorang Syaikh dan dia nanti yang berkata kepada Syaikh hadits apa yang engkau ingin sampaikan)

من ذكرت رحمك الله؟

mustamliy tadi mengatakan Siapa yang engkau sebutkan semoga Allāh ﷻ merahmati dirimu?

Mustamliy sekaligus murid sekaligus dia yang perannya di majelis tersebut sebagai mustamliy yaitu berkata kepada gurunya dari siapa haditsmu siapa yang engkau sebutkan barulah setelah itu nanti syaikhnya mengatakan haddatsana fulan.

يعني فيقول

maksud beliau adalah setelah itu beliau akan mengatakan

حدَّثنا فلانٌ، قال: حدَّثنا فلانٌ

beliau mengatakan telah memberikan atau menyampaikan kepadaku hadits si fulan

ويسوق الأحاديث المسندة

kemudian dia menyebutkan hadits tersebut secara bersanad.

Dia berkeinginan untuk menjadi seperti itu, mungkin beliau pernah melihat di masjid mereka berkumpul mungkin ribuan atau 5 ribuan orang seperti di majelisnya Imam Ahmad, murid-muridnya mendengar kemudian satu orang mengatakan hadits apa Syaikh kemudian beliau mengatakan haddatsana fulan qāla haddatsana fulan qāla akhbarana dan seterusnya qāla Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam demikian dan demikian.

Beliau berkeinginan seandainya beliau menjadi seperti itu menjadi seorang Ahlul Hadits, ini menunjukkan bahwasanya mereka ingin merasakan nikmat yang dirasakan oleh para ulama para Ahlul Hadits.

ومتىٰ عُمِر القلب بلذَّة العلم سقطت لذَّاتُ العادات

Dan kapan saja hati seseorang itu dipenuhi dengan kelezatan ilmu (kalau kita sudah merasakan kelezatan ilmu) maka akan berjatuhan kelezatan-kelezatan perkara-perkara yang merupakan adat dan kebiasaan kita.

Ketika seorang sudah merasakan lezatnya ilmu maka dia akan melihat kelezatan makanan itu tidak ada apa-apanya, ketika dia merasakan lezatnya ilmu maka dia sudah tidak memandang makanan yang favorit itu sebagai suatu yang wah atau minuman yang enak sesuatu yang wah atau tempat tidur yang empuk itu suatu yang sangat menghibur dia, ini terjadi ketika dia merasakan lezatnya ilmu.

وذهَلَتِ النَّفسُ عنها

Maka jiwa ini akan lupa dan lalai terhadap kelezatan-kelezatan perkara-perkara kebiasaan tadi, seperti makan minum tidur dan seterusnya

بل تستحيل الآلامُ لذَّةً بهٰذه اللَّذَّة

bahkan kata beliau, sesuatu yang sakit menurut orang biasa itu bisa menjadi kelezatan tersendiri dengan adanya kelezatan ilmu.

Mungkin orang menyangka kok bisa duduk dari habis Ashar sampai Isya’ misalnya, orang menyangka capek sekali jadi orang menuntut ilmu tapi orang yang menuntut ilmu tidak merasakan, orang yang merasakan kelezatan ilmu justru semakin lama dia semakin senang, itu kok bisa tidur sehari semalam cuma 1 jam ana saja tidur 6 jam inginnya tidur lagi, padahal ketika dia bermalam bersama ilmu murajaah atau membaca ilmu tadi kepada gurunya misalnya dia merasakan disitu nikmat yang luar biasa.

Ada sebagian ulama sampai mereka lupa makan lupa minum karena sedang sibuk dengan ilmu tadi, jangan kita menyangka tersiksa sekali orang tersebut tidak makan sayang tidak minum ini tidak makan ini, tidak, dia dalam keadaan nikmat yang luar biasa dengan ilmu tadi.

Maka ini adalah bentuk pengagungan kita terhadap ilmu, kita berusaha untuk mencintai ilmu tersebut dan menjadikan kecintaan kita terhadap ilmu ini menguasai hati kita dengan cara yang tadi disebutkan.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى