Halaqah 22 ~ Simpul 17 – Membela Ilmu dan Mencegah dari Orang yang Akan Merusak Ilmu
📘 Kitab : Khulashah Ta’dzhimul Ilmi
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-22 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Khulāshah Ta’dzhimul ‘Ilm yang ditulis oleh Fadhilatu Syaikh Shālih Ibn Abdillāh Ibn Hamad Al-Ushaimi hafidzahullāhu ta’ala.
المعقد السابع عشر
Simpul yang ke-17 di antara simpul-simpul (prinsip-prinsip) yang dengannya kita bisa mewujudkan pengagungan terhadap ilmu di dalam diri kita
الذب عن العلم، والذود عن حياضه
adalah membela ilmu, kita harus punya rasa pembelaan terhadap ilmu karena ilmu qalallahu waqala rasul dengan pemahaman para salaf ini harus kita bela jangan sampai ada yang berusaha untuk merusak ilmu dan merusak pemahaman yang benar terhadap ilmu, kalau ada yang merusaknya kita berusaha untuk membelanya
والذود عن حياضه
dan kita berusaha untuk mengusir setiap orang yang ingin mendekati (merusak) telaga-telaga ilmu tersebut, ini bentuk pengagungan kita terhadap ilmu.
Orang yang cinta dengan ilmu dan mengagungkan ilmu dia tidak akan rela kalau di sana ada orang-orang yang berbicara dan merusak ilmu, Allāh ﷻ mengatakan demikian Rasul ﷺ mengatakan demikian pemahaman demikian tapi dia berbicara di hadapan orang dan mengobrak abrik ilmu dan merusak pemahaman yang benar tentang ilmu, maka harus ada di dalam hatinya girah (kecemburuan) tidak rela kalau sampai ada orang yang merusak ilmu, ini bentuk penganggungan kita terhadap ilmu.
إنَّ للعلم حُرمةً وافرةً، توجب الانتصارَ له إذا تُعرِّض لجنَابه بما لا يصلحُ
Sesungguhnya ilmu ini memiliki kehormatan yang tinggi kehormatan yang besar yang mengharuskan kita untuk membela ilmu tersebut apabila ada yang berusaha untuk merusaknya, apabila ada yang berusaha memasukkan ke dalam ilmu tadi sesuatu yang tidak benar.
وقد ظهر هٰذا الانتضار عند أهل العلم في مظاهرَ
Dan telah muncul terwujud pembelaan tersebut (pembelaan yang dilakukan oleh para ulama) pada keadaan-keadaan berikut.
Jadi terlihat di sana peristiwa atau keadaan yang menunjukkan bahwasanya para ulama mereka berkeinginan untuk membela mati-matian ilmu tersebut, ilmu yang mereka rela untuk meninggalkan negaranya sampai ke negara lain mengeluarkan harta yang dia miliki dia berpisah dengan keluarganya, bukti kecintaan mereka terhadap ilmu
منها
diantaranya adalah
الرَّدُّ علىٰ المخالف
membantah orang yang menyimpang.
Para ulama membantah, Imam Ahmad membantah, Ibnu Taimiyah membantah karena ini adalah bentuk pengagungan mereka terhadap ilmu, mereka tidak rela ilmu itu dirusak, dia harus bangkit dia habiskan malamnya mungkin untuk menulis bantahan dihabiskan waktu selama beberapa bulan untuk menulis bantahan, itu dilakukan ingin membela mati-matian ilmu yang dia agungkan, tidak ingin ilmu dirusak oleh sebagian orang.
فمن ٱستبانت مخالته للشَّريعة رُدَّ عليه كائنًا من كان
Maka barang siapa yang jelas penyimpangan dia terhadap syariat maka dia harus dibantah siapapun dia.
Terkadang temannya sendiri, Al Imam Ahmad Bin Hanbal berkata kepada Ishaq Ibn Rahawaih teman beliau sendiri dan sama-sama ulama tapi ilmu lebih dia cintai kalau tidak benar sikapnya terhadap ilmu yang dia sampaikan bukan demikian cara memperlakukan ucapan orang-orang yang baik, siapapun dia maka ditolak meskipun itu adalah temannya sendiri meskipun adalah keluarganya sendiri
حَيَّةً للدِّين، ونصيحةً للمسلمين
itu dilakukan yang pertama adalah untuk menjaga agama, dia sampaikan bantahannya untuk menjaga agama ini supaya tetap murni suci tidak dirusak oleh pemikiran yang menyimpang
ونصيحةً للمسلمين
dan ini adalah bentuk nasehat untuk kaum muslimin, tidak ingin sampai pemahaman yang tidak benar itu kepada saudara-saudaranya di antara kaum muslimin, makanya beliau membantah karena tidak ingin kaum muslimin teracuni dan masuk di dalam pemikiran mereka ajaran-ajaran yang menyimpang ini bagian dari menasihati kaum muslimin.
ومنها
Di antara bentuk pembelaan para ulama terhadap ilmu adalah
هجرُ المبتدعِ
bukan hanya membantah saja tapi juga menghajr (memboikot) seorang ahlul bid’ah.
Ahlul bid’ah ini perusak agama menambah-nambah di dalam agama menyuruh manusia untuk meyakini bid’ah tadi atau mengamalkan bid’ah tadi maka termasuk bentuk pembelaan kita adalah memboikot mubtadi’.
ذكره أبو يعلىٰ الفرَّاء إجماعًا
Abu Ya’la Al-Farra’ menyebutkan bahwasanya adalah ijma’, menghajr mubtadi Itu adalah sebuah ijma
فا يُؤخذ العلم عن أهل البدع
tidak boleh diambil ilmu dari seorang ahlul bid’ah, seorang jahmi atau seorang mu’tazili atau seorang murjiah atau seorang khawarij jangan mengambil ilmu dari ahlul bid’ah mereka merusak.
Dan kalau kita mengambil ilmu darinya manusia akan tertipu si fulan saja mendatangi berarti tidak masalah kita mendatangi majelisnya tidak masalah kita mendengarkan ceramahnya akhirnya ajaran yang menyimpang tadi sampai kepada orang-orang orang awam kepada orang-orang yang jahil sehingga bisa merusak agama, maka pembelaan kita adalah dengan menghajr seorang mubtadi’.
لٰكن إذا ٱضْطرَّ إليه فلا بأس
Akan tetapi kalau dalam keadaan terpaksa maka tidak masalah.
Seperti misalnya di lingkungan sekolah kita belajar macam-macam perkara di situ ada satu pelajaran harus yang mengajar adalah si fulan mubtadi mau tidak mau kita harus menghadiri kelasnya kalau tidak maka kita tidak akan lulus misalnya, maka dalam keadaan terpaksa tidak masalah tapi kita harus berhati-hati dengan pemikirannya.
كما في الرِّواية عنهم لدىٰ المحدِّثين
Sebagaimana (ini sebuah contoh) hukum meriwayatkan dari mereka menurut para muhadditsin.
Para ahlul hadits asalnya mereka tidak mengambil ilmu dari ahlul bid’ah, kalau mereka mau mencari hadits mereka lihat dulu ini ahlul bid’ah atau ahlus sunnah kalau ahlus sunnah mereka ambil ilmunya kalau ahlul bid’ah maka mereka tidak mengambil ilmunya. Tapi di sana ada sebagian ahlul bid’ah, mereka lihat ini adalah ahlul bid’ah yang tidak bohong karena ahlul bid’ah ini ada yang suka bohong dan ada yang takut bohong.
Orang-orang khawarij dahulu mereka adalah orang-orang yang takut bohong karena mereka mengatakan pelaku dosa besar keluar dari islam, jadi mereka kalau bohong atas nama Nabi takut mereka, sehingga kadang kalau dia menghafal hadits memiliki riwayat hadits diambil darinya karena dia adalah punya keyakinan tidak boleh bohong sehingga tidak mungkin dia bohong di dalam menyampaikan hadits, ini sebuah pengecualian.
ومنها: زجر المتعلِّم إذا تعدَّىٰ في بحثه
Di antara bentuk pembelaan terhadap ilmu, selain membantah kemudian memboikot ahlul bid’ah, juga terkadang kita menggertak seorang penuntut ilmu yang ada di hadapan kita, kita bentak misalnya apabila dia berlebihan dalam menuntut ilmu
أو ظهر منه لَدَدٌ
atau terlihat bahwasanya orang ini suka membantah, dia mungkin baru belajar dan ingin menampakkan tentang semangatnya atau menampakkan ilmunya, sudah disampaikan oleh gurunya demikian dan demikian tapi begini, diulang lagi tapi begini dan seterusnya maka dalam keadaan demikian boleh bagi seorang guru untuk menggertak kalau kelihatan di dalam dirinya sifat seperti ini
أو سوءُ أدبٍ
atau terlihat dia tidak beradab, karena ini semua adalah menunjukkan penghinaan terhadap ilmu dan kita sebagai seorang yang menisbahkan kepada ilmu harus membela, ini tidak beradab dalam majelis padahal seharusnya seorang penuntut ilmu dan setiap orang yang cinta ilmu harus beradab di dalam majelis, kalau ini tidak beradab maka boleh bagi seorang guru untuk memberikan pelajaran bagi murid tersebut.
وإن ٱحتاج المعلِّم إلىٰ إخراج المتعلم من مجلسه؛ زجرًا له فليفعل
Kalau misalnya seorang guru perlu untuk mengeluarkan seorang murid dari majelisnya karena ingin memberikan pelajaran kepada murid tersebut maka hendaklah dia lakukan, karena keinginan guru tadi supaya anak ini sadar bahwasanya sikap dia itu salah, sikap dia ini tidak mencerminkan pengagungan terhadap ilmu sehingga terkadang diusir oleh gurunya
كما كان يفعله شعبة مع عفَّانَ بن مسلمٍ في درسه
Sebagaimana ini pernah dilakukan oleh Syu’bah rahimahullah (Amirul Mu’minin Fil Hadits), beliau pernah mengusir seorang muridnya dan dia adalah seorang imam juga sebenarnya seorang ahlul hadits ‘Affan Ibn Muslim di dalam darsnya.
Ini dilakukan oleh Syu’bah untuk memberikan pelajaran kepada muridnya supaya dia mengetahui adab-adab dalam menuntut ilmu, apakah ‘Affan ketika diusir oleh gurunya kemudian dia mutung dan putus asa kemudian malu tidak mau mengadiri majelis Syu’bah, tidak, beliau tetap tegar dan beliau bersabar.
Dan beliau tahu bahwasanya gurunya tidak melakukan yang demikian kecuali untuk kebaikannya dan karena gurunya mencintai ilmu dan mengagungkan ilmu dan ingin melihat muridnya juga mengagungkan ilmu tersebut sehingga jadilah Affan seorang ulama juga jadilah Affan seorang Imam juga karena dia bersabar dalam menuntut ilmu bersabar dalam bermajelis bersabar atas perilaku gurunya, kalau dia tidak bersabar maka mungkin dia akan jadi seorang tukang kayu saja atau tukang bersih-bersih saja tapi beliau bersabar dan akhirnya beliau juga mendapatkan ilmu dari Syu’bah.
Syu’bah melihat muridnya bersabar dan ternyata dia menghadiri majelis ilmunya Syu’bah lagi maka dia tahu bahwasanya ini murid benar-benar dia ingin mencari ilmu, maka akan diberikan kepadanya ilmu karena dia bersungguh-sungguh, ini ilmunya ini haditsnya karena dia melihat murid tersebut memang benar-benar ingin belajar. Kemudian
وقد يُزجر المتعلِّم بعدمِ الإقبال عليه
Terkadang seorang penuntut ilmu (murid) diberikan pelajaran dengan cara gurunya tidak menghadap kepada murid tadi, ketika ditanya oleh murid tadi dia tidak menghadapkan dirinya kepada murid tadi dicuekin
وتركِ إجابته
dan meninggalkan untuk menjawab pertanyaan dia, kalau memang murid tadi di dalam dirinya ada kebaikan maka InsyaAllāh dia akan bisa mengambil pelajaran, ini ada sesuatu pada pada diri Ana sehingga Syaikh beliau demikian dan demikian apa yang salah, kalau memang dalam dirinya ada kebaikan maka dia akan memperbaiki dirinya
فالسُّكوت جوابٌ؛ قاله الأعمش
maka diamnya seseorang itu adalah sebuah jawaban, jawaban tidak harus diucapkan apalagi seorang ulama maka diamnya dia itu adalah sebuah jawaban, itu sebuah pelajaran bagi kita kalau beliau berbicara maka kita berbicara di dalam permasalahan tadi sebagaimana beliau berbicara kalau beliau diam ketahuilah bahwasanya para ulama itu diam di atas ilmu juga bukan karena mereka tidak tahu
فالسُّكوت جوابٌ
maka diamnya itu adalah sebuah jawaban, kita harus sadar kita harus mudah mengerti kenapa guru kita diam kenapa beliau tidak mau menjawab, kita harus sadar maksud beliau mungkin seperti ini mungkin ini kalau sampai dijawab akan terjadi fitnah bagi saudara-saudara Ana ini di sekitar ana masih banyak orang awam sementara pertanyaan Ana tadi sudah terlalu jauh, kalau sampai disampaikan dan dijawab oleh Syaikh ini fitnah bagi orang-orang yang ada di sekitar Ana, dia mengambil pelajaran, berarti nanti Ana kalau jadi seorang guru harus melihat suasana, maka diamnya guru kita itu adalah jawaban
قاله الأعمش
Ini diucapkan oleh Al-A’masy, ini adalah seorang muhaddits Sulaiman Ibn Mihran Al-Kufiy.
ورأينا هٰذا كثيرٍا من جماعةٍ من الشُّيوخ
Syaikh mengatakan dan kami melihat yang demikian banyak dilakukan oleh guru-guru kami atau para ulama
منهم العلَّمة ابن باز
diantaranya adalah Al-‘Allamah Ibn Baz rahimahullah (Syaikh Bin Baz)
فربَّما سأله سائلٌ عمَّا لا ينفعه، فترك الشيخ إجابَتَه، وأمر القارئ أن يواصل قراءته، أو أجابه بخلاف قصده
Terkadang ada yang tanya kepada Syaikh tentang sesuatu yang tidak bermanfaat, sampai perkara yang tidak bermanfaat ditanyakan, maka Syaikh tidak menjawab pertanyaan tadi kemudian menyuruh sang pembaca yaitu yang membaca kitab di hadapan beliau untuk meneruskan qira’ahnya, jadi ada yang bertanya Syaikh apa hukumnya demikian dan demikian saya mengatakan Iqra (baca), tidak dijawab pertanyaan orang tadi karena melihat itu tidak bermanfaat.
Ini pelajaran bagi kita kalau kita duduk di situ kalau ada orang yang bertanya dan kurang bermanfaat untuk sebagai pembelaan kita terhadap ilmu maka jangan kita menjawab pertanyaan tadi, ini pelajaran makanya ini penting seseorang melazimi seorang guru, dia bukan hanya belajar mengambil ilmu darinya tapi juga mengambil adab dari beliau
أو أجابه بخلاف قصده
atau menjawabnya tetapi bertentangan dengan maksud orang yang bertanya tadi, terlihat dia maksudnya mau demikian kemudian oleh Syaikh dijawab bertentangan dengan apa yang dia maksudkan sebagai pelajaran bagi orang tersebut.
Ini adalah ma’qid (simpul) yang ke-17 kita harus memiliki pembelaan terhadap ilmu kalau ada orang yang akan menghinakan ilmu tersebut atau merusak ilmu tersebut.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى