Antara Manhaj Ahli Bid’ah & Pengikut Hawa Nafsu Dengan Jalan Keselamatan Dengan Ittiba’ (Bag 1) | Halaqah 34

Halaqah 34 ~ Antara Manhaj Ahli Bid’ah & Pengikut Hawa Nafsu Dengan Jalan Keselamatan Dengan Ittiba’ (Bag 1)

📘 Kun Salafiyyan Alal Jaddah


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله


Masuk kita pada pembahasan yang baru yang disebutkan oleh Syaikh Abdussalam As Suhaimi Hafidzahullah Ta’ala di dalam kitab beliau “Kun Salafiyyan ‘Ala Al-Jaddah.”

Setelah sebelumnya kita membahas tentang keistimewaan-keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dibandingkan yang lain, bahwasanya,
– Mereka di pertengahan,
– Mereka semangat untuk menyebarkan aqidah,
– Mereka meyakini bahwasanya jalan para salaf adalah jalan yang paling selamat dan
– Mereka adalah orang yang paling mengenal Nabi ﷺ, baik ucapan beliau, perbuatan beliau dan berusaha membedakan mana yang shahih, mana yang dhaif.

Maka beliau, yaitu penulis hafidzahullah ta’ala, ingin membahas tentang:

منهج أهل البدع ولأهواء

Bagaimana sebenarnya manhaj dan metode ahlul bida’ dan juga ahlul ahwa dalam beragama.

Syaikh mengatakan:

تقدم ذكر منهج السلف في العقيدة وأهم مميزاته وأن أهم ما يميز المنهج السَّلفي في العقيدة هو حصر التلقي في كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم وأن يكون ذلك مقيداً بفهم السلف الصالح

Sudah berlalu penyebutan manhaj salaf di dalam masalah aqidah dan penyebutan yang paling penting di antara keistimewaan manhaj salaf.

Dan bahwasanya hal yang paling penting yang membedakan antara manhaj salafi di dalam masalah aqidah adalah mereka membatasi sumber ilmu yaitu kepada

كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم

Hanya kepada Al-Quran dan juga Sunnah Rasul-Nya ﷺ dan bahwasanya yang demikian diikat dengan pemahaman para salafush shalih.

Ini termasuk di antara perkara yang sangat penting yang membedakan antara manhaj salafi dengan منهج أهل البدع ولأهواء

Kemudian beliau mengatakan:

وعلى العكس من ذلك منهج أهل الأهواء والبدع

Sebaliknya, berkebalikan dengan manhaj tadi adalah manhajnya أهل الأهواء والبدع

فإن مصدر التلقي عندهم ليس الكتاب والسنة وإنـما هو ما ابتدعه أئمتهم وشيوخهم ثم تأويل الكتاب أو السنة إلى ما يوافق أهواءهم

Bukan kepada Al-Quran dan Sunnah, tidak menjadikan itu sumbernya. Akan tetapi mereka kembali kepada apa? Kembali kepada apa yang dibuat-buat oleh tokoh-tokoh mereka dan syaikh-syaikh mereka, terkadang dari mimpi atau terkadang dari akal mereka atau terkadang dari adat istiadat mereka.

Kemudian apa? Kemudian mentakwil Al-Quran atau Sunnah kepada sesuatu yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Jadi kalau misalnya mereka menemukan dalil dari Al-Quran dan Sunnah, kok tidak sesuai dengan keyakinan mereka dan aqidah mereka. Apa yang mereka lakukan? Mentakwilnya, merubah maknanya disesuaikan dengan hawa nafsu mereka.

Oh maksud firman Allah ini, bukan ini, tapi maksudnya ini. Hadits maksudnya adalah seperti ini.

Mereka bawa Al-Quran dan Hadits kepada pemahaman mereka, yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, bukan kembali kepada pemahaman para salaf.

واعتمادهم على العقل وعلى الأحاديث الضعيفة والواهية والمكذوبة على رسول الله صلى الله عليه وسلم

Di antara manhaj mereka, adalah mereka menjadikan akal mereka sebagai sumber, menjadikan hadits yang dhaif yang lemah bahkan yang palsu; dipalsukan atas Rasulullah ﷺ sebagai sumber.

واتباعهم للمتشابه

Dan mereka juga mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih yang samar yang bisa mereka seret kepada pemahaman mereka. Adapun dalil yang muhkam baik dalam Al-Quran maupun dalam Hadits mereka tinggalkan dan berpegang dengan dalil-dalil yang syubhat, dalil-dalil yang samar.

وتحريفهم للأدلة وتأويلها تأويلاً فاسداً

Dan mereka merubah makna yang disebutkan dalam dalil dan mereka mentakwilnya dengan takwil yang rusak.

يقول ابن القيم رحمه الله:

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:

وبالجملة فافتراق أهل الكتاب وافتراق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة إنـما أوجبه التأويل

“Dan secara umum bahwasanya perpecahan ahlul kitab dan perpecahan umat ini menjadi 73 golongan maka sebabnya adalah karena mereka mentakwil.” Mereka merusak maknanya. Mungkin kalau ditanya apa dasar agamamu? Al-Quran dan Hadits. Tapi ternyata sudah mereka takwil kepada pemahaman mereka, mereka rusak maknanya. Bukan kembali kepada pemahaman salaf tetapi kembali kepada akal mereka, kepada pemahaman mereka.

Kemudian beliau menukil ucapan Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, beliau mengatakan:

ويقول ابن أبي العز الحنفي: وهل خرجت الخوارج واعتزلت المعتزلة ورفضت الروافض وافترقت الأمة على ثلاث وسبعين فرقة إلا بالتأويل الفاسد

“Dan tidaklah keluar orang-orang Khawarij, dan tidaklah orang-orang Mu’tazilah mengasingkan diri mereka, dan tidaklah orang-orang Rafidhah menolak dan tidaklah berpecah belah umat ini menjadi 73 golongan, kecuali karena sebab takwil yang rusak ini.”

Yaitu takwil yang tidak berdasar, tidak kembali kepada pemahaman yang benar.

فهذا المنهج الذي سلكه أهل الأهواء والبدع مخالف لمنهج أهل السنة والجماعة في النظر والاستدلال وهو من أعظم عوامل تفرق الأمة الإسلامية

Maka manhaj yang ditempuh oleh أهل الأهواء والبدع ini menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah beristidlal, melihat dalil, menggunakan dalil, dan ini adalah termasuk sebab yang paling besar yang menjadikan umat ini berpecah belah.

Ahlus Sunnah bagaimana manhaj mereka?
Sudah berlalu, kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman para salaf. Selain itu yang bertentangan maka harus ditinggalkan.

Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman para salaf inilah yang didahulukan, segala sesuatu yang bertentangan dengan itu baik yang muncul dari akal, dari adat, dari pendapat manusia maka itu harus siap untuk ditinggalkan.

Ini adalah cara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beraqidah, dalam berdalil, berbeda dengan manhaj ahlul bid’ah, seandainya mereka menerima maka ini ketika sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Kalau sudah tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka terkadang mereka mentakwilnya, terkadang mereka mentakhwidznya, atau terkadang ya itu tadi merubah maknanya memahami Al-Quran dengan Hadits dengan pemahaman sendiri.

Padahal seharusnya yang namanya seorang muslim harusnya dia siap untuk istislam, siap untuk pasrah kepada Allah ﷻ. Menerima Al-Quran dan Hadits dengan sepenuh hati dan memahami itu dengan pemahaman orang-orang yang diridhai oleh Allah ﷻ, pemahaman para salaf.

Kemudian yang selanjutnya beliau mengatakan, poin yang selanjutnya:

طريق الخلاص والنجاة هو بالاتباع وترك الابتداع

Poin yang penting yang beliau sebutkan di sini, setelah menyebutkan tentang manhaj Ahlul bid’ah dalam beragama beliau menyebutkan jalan untuk selamat, jalan untuk sukses adalah dengan mengikuti dan meninggalkan bid’ah.

Kita ikuti saja, mengikuti orang-orang yang sudah selamat, mengikuti orang-orang yang sudah sukses dalam beragama. Jangan kita membuat perkara yang baru.

قال شيخ الإسلام في كتاب العبودية:

Berkata Syaikhul Islam dalam kitab beliau Al-‘Ubudiyyah:

وجِمَاع الدين أصلان: أن لا نعبد إلا الله ولانعبده إلا بما شرع

“Agama ini terkumpul pada dua pokok:
– Kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah
– Kita tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang Allah syari’atkan.”

Kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allāh ﷻ, itu yang pertama tauhid أشهد أن لا إله إلا الله. Kemudian yang kedua kita tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang Allah syari’atkan.

Darimana kita mengetahui? Terkadang dari Al-Quran, terkadang dari Hadits Nabi ﷺ.

لا نعبده بالبدع

Tidak boleh kita menyembah Allah dengan bid’ah.

كما قال تعالى: فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shalih dan janganlah dia menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (QS Al-Kahfi : 110)

فقد أمر الله سبحانه وتعالى في هذه الآية أن يكون العمل صالحاً أي موافقاً للسنة ثم أمر أن يخلصه صاحبه لله

Maka Allah ﷻ memerintahkan dalam ayat ini supaya amal kita ini menjadi amal yang shalih.

Apa itu amal yang shalih? Dinamakan amal yang shalih kalau dia sesuai dengan sunnah, kemudian Allah menyuruh orang yang melakukan amal shalih tersebut untuk mengikhlaskan amalnya hanya untuk Allah saja.

Karena di situ disebutkan,

فليعمل عملاً صالحاً

hendaklah dia mengamalkan amalan yang shalih, yaitu amalan yang sesuai dengan sunnah.

Kemudian yang kedua,

ولا يشرك

jangan dia menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

وقال الحافظ ابن كثير في تفسيره:

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya:

وهذان ركنا العمل المتقبل لابد أن يكون خالصاً لله صواباً على شريعة رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Maka ini adalah dua rukun amal yang diterima oleh Allah, harus ikhlas karena Allah dan harus benar sesuai dengan syari’at Rasulullah ﷺ.”

Ini ucapan Ibnu Katsir.

وقد روي مثل هذا عن القاضي عياض رحمه الله وغيره

Dan yang demikian telah dinukil dari Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan selain beliau.

Yang menunjukkan bahwasanya amalan yang diterima itu adalah amalan yang terpenuhi keikhlasan di dalamnya dan juga sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ.

Al-Qadi ‘Iyadh pernah ketika beliau menafsirkan firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Untuk menguji di antara kalian siapa yang paling baik amalannya.” (QS Al-Mulk: 2)

Beliau mengatakan:

إنَّ العمل إذا كان خالصًا ولم يكن صوابًا لم يُقبل، وإن كان صوابًا ولم يكن خالصًا فلم يُقبل، حتى يكون خالصًا صوابًا

“Sesungguhnya amalan kalau ikhlas tidak sesuai dengan sunnah tidak diterima, dan kalau sesuai dengan sunnah tidak ikhlas maka tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah ﷺ.”

Baik, mungkin itu yang bisa kita sampaikan dan In syaa Allah penjelasan tentang masalah ikhlas dan sesuai dengan sunnah bisa kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang dan sampai bertemu kembali.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى