Tidak Ada Qiyas Dan Sunnah Tidak Boleh Ditolak Dengan Permisalan | Halaqah 25

Halaqah 25 ~ Tidak Ada Qiyas Dan Sunnah Tidak Boleh Ditolak Dengan Permisalan

📘 Halaqah Silsilah Ushulus Sunnah


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله


Beliau rahimahullah mengatakan,

وليس في السنة قياس

Dan tidak ada didalam Sunnah Qiyas,

Allahualam yang dimaksud dengan Sunnah disini adalah agama secara umum.

Tidak ada didalam Sunnah didalam agama ini Qiyas.

Dan bukanlah maksud beliau Qias yang dipakai oleh para ulama misalnya ada Alquran, Sunnah ijma dan Qias. bukan ini yang beliau maksud tapi yang beliau maksud disini adalah Al Qiyasul Fasiq ( Qias yang rusak), karena Qias ada dua, ada Qias yang shahih (benar) dan inilah yang dimaksud oleh para ulama yang mereka menghiaskan cabang dengan pokoknya karena adanya kesamaan sebab.

Contoh misalnya di dalam Alquran disebutkan tentang diharamkannya Al Khamr/ minuman keras dan tidak disebutkan disana sabu² atau narkoba atau ganja dan seterusnya tapi para ulama mengharamkan sabu, ganja, narkotika meskipun dinamakan dengan apa saja, kenapa mereka mengharamkan karena dikiaskan dengan khamr, sebagaimana khamr menghancurkan akal manusia ini diharamkan oleh Allāh maka di Qiaskan adalah perkara-perkara tersebut, kalau kias yang seperti ini maka itu menurut imam yang empat maka ini dalil mereka menggunakan Qias yang shahih yang seperti ini dengan syarat-syaratnya tapi kalau kiasnya adalah Qiasnya Qias yang Fasiq/ rusak Maka inilah yang dimaksud oleh Beliau di sini

وليس في السنة قياس

Tidak ada di dalam agama ini kias yaitu kias yang rusak.

karena di sana ada sebagian orang yang dengan dalih Qias akhirnya dia membolehkan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang-orang kufar yang mereka mengatakan,

… ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا… ۝
[QS Al Baqarah 275]

MengQiaskan yang namanya riba itu sama dengan jual beli yang di situ ada yang menjual ada yang membeli ada dua pihak yang mereka berpikir yang berpikir akhirnya menyamakan antara riba dengan jual beli.

Ini Qias yang rusak yang demikian, diantara ciri khas yang rusak itu adalah kias yang bertentangan dengan dalil, dalilnya jelas kemudian dia mengQiaskan untuk membolehkan, maka ini adalah Qias yang rusak.

Seperti tadi misalnya orang yang mengkiaskan riba dengan jual beli padahal Allāh mengatakan,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allāh menghalalkan jual beli dan Allāh mengharamkan riba.

Iblis ketika dia disuruh untuk khusus kepada Adam sujud yang isinya adalah penghormatan, dia menggunakan Kias tapi kiasnya adalah bertentangan dengan dalilnya Karena Allāh ﷻ menyuruh dia untuk bersujud tapi dia dengan akalnya menggunakan kias untuk menolak perintah Allāh subhanahu wa taala, apa yang dia katakan,

…قَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ ۝
[QS Al A’raf 12]

Aku lebih baik daripada Adam, Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan Adam dari tanah.

Disini dia melakukan kias dan ini adalah kias yang Fasiq, kias yang rusak tidak ada dalam agama yang demikian kalau memang itu sudah datang dalil ada nashnya maka tidak boleh kita mengkiaskan kalau seseorang mengkiaskan mendahulukan akalnya yang kemudian menolak dalil dan nash dengan akalnya maka tidak ada dalam agama yang seperti itu dan itu dilarang didalam agama kita mendahulukan akal di atas dalil.

Kemudian beliau mengatakan,

, ولا تُضرَبُ لها الأمثال

Tidak boleh kita membuat permisalan² yaitu ingin menolak Sunnah/dalil akhirnya ada sebagai orang membuat permisalan² & perumpamaan² dan ini terkadang bagi sebagian kelompok sebagian aliran alat yang jitu atau sarana yang di jitu untuk menipu orang-orang bodoh dengan membuat permisalan², kita harus demikian dan demikian karena seperti kalau kita (kemudian dia menyebutkan kehidupan atau sebuah peristiwa atau apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari) iya seperti misalnya kita harus nurut pada apa yang diomongkan oleh guru kita, benar atau salah kemudian membuat permasalahan seperti kalau kita dihadapan orang yang memandikan kita kalau kita sebagai mayat dan dihadapan orang yang memandikan kita maka kita mau dibalik ke sana dimiringkan ke sana Ini kita enggak bisa berbuat apa-apa maka kita dihadapan guru kita harus seperti ini.

Meyakini misalnya apa yang beliau diucapkan itu pasti benar misalnya, ya dan tidak boleh kita menyelisihi apa yang beliau ucapkan, maka ini permasalahan yang bertentangan dengan dalil tadi kita disuruh untuk mengikuti Al-Qur’an dan hadist dan mendahulukan Al-Qur’an dan hadits di atas apa saja sampai seandainya itu adalah ucapan seorang Abu Bakar atau ucapan seorang Umar maka Al-Qur’an dan hadits harus tetap kita dahulukan Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۝
[QS Al Hujurat 1]

Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allāh dan juga rasul-Nya.

Mendahului Allāh dan juga rasulnya mengedepankan akal, mengedepankan permisalan², perumpamaan² daripada Al-Qur’an dan hadits contoh misalnya oleh orang ketika didakwahi ketika diajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits, dia mengatakan tak usah mendakwahilah kita ini semuanya menuju Allāh seperti kalau kita mau ke Jakarta misalnya ada yang lewat jalan sana ada yang lewat tol ini lewat sana maka tujuannya sama mungkin perumpamaan tapi perumpamaan yang bertentangan dengan dari karena dalil menunjukkan bahwasanya jalan menuju Allāh itu hanya satu yaitu Apa Al-Qur’an dan juga hadits inilah

الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ

Adapun seseorang ingin mencari jalan sendiri dan menganggap itu juga akan menyampaikan kepada Allāh dari mana yang demikian?

Maka hati-hati ya dengan perumpamaan² seperti itu karena sekali lagi yang digunakan oleh sebagian orang untuk menipu dan ingin membodoh²i kita, kita ukur permisalan tadi dengan Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits atau tidak kalau sesuai kita terima kalau tidak sesuai ya tidak boleh kita terima

ولا تُتَّبَعُ فيها الأهواء

dan tidak boleh yang namanya dalil Al-Qur’an dan juga hadits itu dipahami dengan akal semata.

Maksudnya adalah mendahulukan akal di atas Al-Qur’an dan hadits, kita disuruh untuk memikirkan makanya Allāh subhanahu wa ta’ala banyak di dalam Alquran mendorong kita untuk merenungi memikirkan

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ۝
[QS Al Ghosyiyah 17]

Apakah mereka tidak melihat kepada unta bagaimana diciptakan oleh Allah

قُلِ انْظُرُوْا مَاذَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ… ۝

katakanlah lihatlah oleh kalian apa yang ada di langit dan dibumi.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ ۝
[QS Al Imran 190]

Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan juga bumi dan perbedaan siang dan malam maka ini adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir/orang² yang memiliki akal.

kita memang disuruh untuk merenung disuruh untuk berpikir tapi ini di dalam ranah akal di dalam sesuatu yang memang sesuai dengan kemampuan akal kita tapi di sana ada perkara-perkara yang akan kita tidak sampai di sana, maka kalau sudah sampai ke sana tentang perkara-perkara yang gaib tentang sifat-sifat Allāh subhanahu wa ta’ala maka dalam keadaan demikian kita harus berhenti sesuai dengan kemampuan akal tersebut dia tidak akan mampu untuk merenungkan hal tersebut kita harus dan butuh dengan wahyu sehingga tidak boleh kalau misalnya disana datang sesuatu yang kelihatannya bertentangan dengan akal kemudian kita mendahulukan akal diatas dalil.

Kalau misalnya beragama itu berdasarkan akal sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalib niscaya bagian bawah khuff itu lebih berhak untuk diusap, karena bagian bawah khuff kotor harusnya itu yang lebih berhak untuk diusap tapi ternyata dalam Islam yang diusap adalah bagian atasnya bukan bagian bawah kalau misalnya agama ini berdasarkan akal semata niscaya bagian bawah khuff ini lebih berhak untuk diusaha daripada atas.

Sehingga hati-hati jangan sampai seseorang mendahulukan akal diatas dalil

ولا الأهواء

Dan tidak boleh dengan hawa nafsu.

Seseorang memahami Al-Qur’an dan hadist dengan hawa nafsunya karena memang di dalam hatinya ini sudah ada keyakinan sudah ada pemikiran tapi tidak berdasarkan tadi kemudian ketika dia datang Al-Qur’an dan juga hadits maka yang sesuai dengan hawa nafsunya itulah yang dia terima kalau secara dhohir keliatan dia bisa disetir kepada hawa nafsunya itulah yang dia terima Maka hati-hati jangan sampai kita memahami Al-Qur’an dan hadist dengan hawa nafsu kita ya seorang memiliki pemikiran misalnya seluruh agama ini sama semuanya benar kemudian ketika dia membaca Al-Qur’an atau membaca hadits yang bisa dipahami dan bisa dibawa kepemahaman dia maka dia lakukan yang demikian ini perilaku orang-orang munafikin orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit mengikuti apa yang mutasyabi dari Al-Qur’an menganggap misalnya kalau mendapatkan hadis bahwasanya Nabi ﷺ bermuamalah dengan orang Yahudi kemudian menganggap berarti beliau menganggap bahwasanya agama semuanya sama semuanya benar dan dia tidak ingat bahwasanya disana ada ayat-ayat hadits-hadits yang menunjukkan tentang bantahan Allāh terhadap agama selain agama Islam.

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۝

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ۝

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۝

Ini hawa nafsu bukan benar-benar ingin mengikuti wahyu tapi mengikuti hawa nafsu maka tidak boleh seseorang memahami Al-Qur’an dan hadits dengan hawa nafsu.

Sesungguhnya yang diinginkan dari kita itu adalah Al Ittiba kita ikut saja apa yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits dan kita harus meninggalkan hawa nafsu, kita harus Istislam yaitu menyerahkan diri dengan sebenar-benarnya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

Janganlah kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan muslim. dalam keadaan menyerahkan diri maka pasrahlah terimalah apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadits pahami dengan baik sesuai dengan pemahaman para salaf dan jangan kita mengikuti hawa nafsu

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى