Halaqah 140 ~ Beriman Kepada Takdir

Halaqah 140 ~ Beriman Kepada Takdir (Penutup)

📘 Halaqah Silsilah Ilmiyah – Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله


Halaqah yang ke-140 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Beliau mengatakan rahimahullāh

ولِلْعِبَادِ قُدْرَةٌ عَلَى أَعْمَالِهِمْ

kembali beliau menjelaskan tentang keyakinan ahlussunnah dan kebatilan madzhab/aliran al-jabriyah yang mereka berlebihan dalam menetapkan af’alullāh, dan para hamba mereka memiliki qudroh (kemampuan) untuk melakukan amalan mereka, Allāh ﷻ berikan mereka kemampuan, kalau jabriyah mengatakan hamba itu tidak memiliki kemampuan Allāh ﷻ yang menggerakkan, mereka tidak memiliki qudrah dan mereka tidak memiliki iradah padahal Allāh ﷻ mengatakan

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
[Al-Baqarah:286]

Allāh ﷻ tidak membebani sebuah jiwa kecuali dengan kemampuannya, berarti dia punya qudrah

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ…
[At-Taghabun:16]

Hendaklah kalian bertakwa kepada Allāh ﷻ sesuai dengan kemampuan kalian, berarti kita punya kemampuan (qudrah)

وَلَهُمْ إِرَادَةٌ

dan Allāh ﷻ memberikan kepada mereka iradah ini, kita punya kekuatan kemampuan dan Allāh ﷻ berikan dalam diri kita iradah kita punya keinginan ingin makan ingin minum ingin tidur ingin shalat ingin puasa Allāh ﷻ berikan dalam hati kita iradah dan ini adalah bantahan kepada jabriyyah yang mereka menafikan iradan dan qudrah dari seorang hamba, kita ini seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tidak ada iradah tidak qudrah atau seperti pohon yang ditiup angin dia bergerak kemana angin tersebut bergerak ke arah angin tersebut bergerak, ini keyakinan jabiyyah padahal Allāh ﷻ mengabarkan kita ini punya qudrah dan Allāh ﷻ mengabarkan kita ini punya iradah (keinginan), siapakah yang menciptakan qudrah dan iradah yang ada pada diri kita, Allāh ﷻ

وَاللهُ خَالِقُهُمْ وَقُدْرَتَهُمْ وَإِرَادَتَهُمْ

Allāh ﷻ yang menciptakan mereka dan Allāh ﷻ yang menciptakan kekuatan mereka kemampuan mereka dan Allāh ﷻ lah yang menciptakan keinginan yang ada pada hati mereka, jangan mengira mereka punya qudrah sendiri punya iradah sendiri, dan ini bantahan kepada qadariyyah juga karena qadariyyah mereka meyakini mereka sendirilah yang menciptakan amalan-amalan tersebut, mereka yang menciptakan qudrah mereka, mereka yang menciptakan iradah mereka dan ini salah karena yang menciptakan qudrah dan iradah mereka adalah Allāh ﷻ

كَمَا قَالَ تَعَالَى

sebagaimana Firman Allāh ﷻ

لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ  وَمَا تَشَاؤُونَ إِلاَّ أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
[At-Takwir 28-29]

bagi siapa diantara kalian yang ingin istiqamah, berarti Allāh ﷻ menetapkan iradah bagi makhluk, bagi siapa diantara kalian yang ingin istiqamah berarti makhluk punya keinginan, ini bantahan kepada jabriyyah

وَمَا تَشَاؤُونَ إِلاَّ أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Dan tidaklah kalian menghendaki kecuali apa yang dikehendaki oleh Allāh ﷻ Rabbul ‘ālamīn, apa yang kalian kehendaki itu dibawah kehendak Allāh ﷻ, tidaklah kalian menghendaki kecuali apa yang Allāh ﷻ kehendaki artinya apa yang kita kehendaki seandainya terjadi itu memang dengan kehendak Allāh ﷻ, Allāh ﷻ yang menghendaki terjadi, jadi kehendak kita senantiasa berada dibawah kehendak Allāh ﷻ sehingga kadang kehendak kita terjadi kalau memang Allāh ﷻ menghendaki dan terkadang kehendak kita tidak terjadi.

Kita ingin dan berkehendak anak kita shaleh tapi Allāh ﷻ menghendaki tidak shaleh maka tidak shaleh, menunjukkan bahwasanya kehendak kita itu berada dan senantiasa berada di bawah kehendak Allāh ﷻ, ini bantahan terhadap qadariyyah, berarti ayat ini meskipun dengan lafadz yang singkat tapi dia membantah dua aliran besar dalam masalah qadar, membantah jabriyyah dan juga membantah al-qadariyyah.

وَهَذِهِ الدَّرَجَةُ مِنَ الْقَدَرِ يُكَذِّبُ بِهَا عَامَّةُ الْقَدَرِيَّةِ

Dan derajat dari beriman dengan takdir ini (yang mencakup dua perkara yaitu al-masyi’ah dengan al-qudrah) didustakan/diingkari oleh seluruh qadariyyah, jadi orang-orang qadariyyah dinamakan dengan qadariyyah karena mereka mengingkari takdir Allāh ﷻ, untuk masalah masyi’ah dengan al-qudrah ini semuanya mereka mengingkari baik yang ghulāt (yang berlebihan) maupun yang sedang-sedang saja

الَّذِينَ سَمَّاهُمُ النَّبِيُّ : مَجُوسَ هَذِهِ الأُمَّةِ

tapi kalau yang ghulāt/berlebihan sudah kita sampaikan mereka mengingkari sampai masalah ilmu mereka ingkari, kalau qadariyyah yang sedang masalah ilmu al-kitabah mereka yakini tapi masalah al-lhalq wal masyi’ah mereka mengingkari, yang diberi nama oleh Nabi ﷺ dengan majusinya umat ini. Di dalam sebuah hadits Nabi ﷺ mengatakan

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ

Orang-orang qadariyyah itu adalah majusinya umat ini

إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تشهدوهم

kalau mereka sakit maka jangan didatangi/dijenguk dan kalau mereka mati maka jangan kalian saksikan jenazahnya, berarti dikabarkan oleh Nabi ﷺ bahwasanya mereka ini adalah orang majusinya umat ini karena mereka serupa dengan orang majusi dalam hal takdir ini. Orang-orang majusi meyakini bahwasanya yang menciptakan itu ada dua, An-Nur wa Dzulma cahaya dan juga kegelapan, cahaya ini yang menciptakan kebaikan-kebaikan adapun kegelapan maka ini yang menciptakan seluruh kejelekan, pencipta menurut mereka dua.

Orang-orang qadariyyah juga demikian meyakini adanya dua pencipta, pertama yang menciptakan dzat mereka adalah Allāh ﷻ itu mereka meyakini, tapi yang menciptakan perbuatan mereka mereka meyakini mereka sendirilah yang menciptakan, berarti mereka meyakini adanya dua pencipta sehingga Nabi ﷺ mengatakan mereka ini adalah orang majusinya umat ini. Hadits ini Hasan di diriwayatkan oleh Abu Dawud dan juga yang lain. Kemudian beliau mengatakan

وَيَغْلُو فِيهَا قَومٌ مِنْ أَهْلِ الإثْبَاتِ، حَتَّى سَلَبُوا الْعَبْدَ قُدْرَتَهُ وَاخْتِيَارَهُ

dan telah berlebihan di dalam derajat ini (فِيهَا disini adalah kembali kepada derajat ini yaitu masalah masyi’ah dan juga penciptaan/qudroh) sebagian kaum dari ahlul itsbat (yaitu orang-orang yang menetapkan takdir bagi Allāh ﷻ, itsbat menetapkan dan yang dimaksud dengan menetapkan disini adalah menetapkan takdir bagi Allāh ﷻ) sampai dia mengingkari/menafikan dari seseorang qudrah dan juga pilihannya, jadi seseorang itu tidak memiliki qudrah/kekuasaan dan dia tidak memiliki pilihan dan ini adalah keyakinan orang-orang jabriyyah, berlebihan dalam menetapkan takdir atau derajat masyi’ah dan juga qudratullāh sampai mereka menafikan dari seorang hamba qudrahnya dan juga pilihannya, dia tidak punya pilihan dan tidak punya qudrah.

وَيُخرِجُونَ عَنْ أَفْعَالِ اللهِ وَأَحْكَامِهِ حُكْمَهَا وَمَصَالِحَهَا

Dan mereka mengeluarkan dari perbuatan Allāh ﷻ dan juga hukum-hukum Allāh ﷻ hikmah hikmahnya dan juga maslahat-maslahatnya, mengeluarkan dari perbuatan Allāh ﷻ bahwasanya perbuatan Allāh ﷻ itu tidak ada hikmahnya jangan dicari-cari hikmahnya, mereka meyakini bahwasanya perbuatan Allāh ﷻ itu tidak mengandung hikmah jangan dicari-cari hikmahnya, Allāh ﷻ melakukan hanya dengan masyi’ah saja tanpa memperhatikan hikmahnya tidak ada hikmahnya.

وَمَصَالِحَهَا

dan mereka menafikan dari perbuatan-perbuatan Allāh ﷻ dan hukum-hukum yang Allāh ﷻ keluarkan dalam syariatnya itu hanyalah sekedar masyi’ah/kehendak saja dan mereka berlebihan dalam menetapkan masyi’ah ini tapi tidak ada di sana maslahat, di dalam syariat Allāh ﷻ di dalam perintah Allāh ﷻ dalam larangan Allāh ﷻ tidak ada maslahatnya tidak ada hikmahnya, itu hanyalah masyi’ah saja, maka ini adalah keyakinan orang-orang jabriyyah.

Adapun Ahlus Sunnah maka mereka meyakini bahwasanya apa yang Allāh ﷻ lakukan semuanya pasti ada hikmahnya dan apa yang yang ada dan disyariatkan oleh Allāh ﷻ berupa hukum-hukum pasti disana ada hikmah ada maslahat, diantara nama Allāh ﷻ  adalah Al-Hakim Yang Maha Bijaksana dan af’alullāh adalah sifatullāh dan sifat Allāh ﷻ semuanya adalah ulya, semuanya adalah mulia semuanya adalah yang terbaik yang paling tinggi, Allāh ﷻ tidak melakukan sesuatu dalam keadaan sia-sia, semuanya adalah dengan hikmah tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan Allāh ﷻ dan tidak ada yang sia-sia di dalam hukum Allāh ﷻ.

Dan bagi orang yang mempelajari agama ini dan mentadaburi bagaimana Allāh ﷻ mensyariatkan qishas mensyariatkan shalat mensyariatkan puasa orang akan mengetahui tentang hikmah yang sangat dalam di dalam penciptaan Allāh ﷻ di dalam hukum-hukum yang Allāh ﷻ turunkan.

Orang-orang jabriyyah tidak meyakini demikian, jadi Ini semua adalah dengan masyi’ah Allāh ﷻ saja tidak ada hikmahnya Allāh ﷻ menciptakan perzinahan menciptakan orang yang berzina menciptakan kekufuran, kenapa ini dijadikan kufur kenapa ini dijadikan musyrik mereka mengatakan jangan tanya hikmahnya ini tidak ada hikmahnya, semuanya adalah masyi’atullāh, Allāh ﷻ menghendaki demikian ya sudah tidak ada hikmahnya.

Ahlussunnah tidak, meyakini bahwasanya Allāh ﷻ Dia-lah yang memberikan hidayah dengan karunia-Nya dan Allāh ﷻ Dia-lah yang menyesatkan sebagian karena keadilan-Nya, tidak ada diantara mereka yang didzhalimi oleh Allāh ﷻ.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى