Halaqah 136 ~ Pembahasan Derajat Kedua yakni Al Masiah dan Penciptaan

Halaqah 136 ~ Beriman Kepada Takdir dengan Pembahasan Derajat Kedua yakni Al Masiah dan Penciptaan

📘 Halaqah Silsilah Ilmiyah – Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله


Halaqah yang ke-136 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Beliau mengatakan rahimahullāh

وَأَمَّا الدَّرَجَةُ الثَّانِيَةُ

Adapun derajat yang kedua, derajat yang pertama yang terdiri dari dua perkara atau dua tingkatan al-ilm dan kitabah sudah kita bahas, adapun derajat yang kedua maka terdiri dari dua tingkatan juga tingkatan yang pertama adalah tingkatan al-masyi’ah (kehendak) kemudian tingkatan yang kedua dalam derajat ini adalah tingkatan penciptaan.

وَأَمَّا الدَّرَجَةُ الثَّانِيَةُ؛ فَهِيَ مَشِيئَةُ اللهِ النَّافِذَةُ، وَقُدْرَتُهُ الشَّامِلَةُ

Adapun derajat yang kedua maka dua perkara tadi adalah kehendak Allāh ﷻ yang senantiasa terlaksana, yaitu meyakini bahwasanya apa yang Allāh ﷻ kehendaki itu pasti terjadi dan apa yang tidak Allāh ﷻ kehendaki maka tidak akan terjadi, ini adalah perkara yang pertama di dalam derajat yang kedua ini yaitu tentang masyi’atullāh beriman dengan kehendak Allāh ﷻ yang an-nāfilah (senantiasa terlaksana).

Dan masyi’atullāh disini adalah nama lain dari al-iradah al-kauniyah, sudah berlalu ketika beliau menyebutkan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat masyi’ah/iradah bagi Allāh ﷻ dan bahwasanya disana ada iradah kauniyah dan disana ada iradah syar’iyyah dan sudah kita sebutkan perbedaannya, iradah kauniyah atau masyi’ah itu pasti terjadi dan inilah yang dimaksud dengan Firman Allāh ﷻ

إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡ‍ًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ  ٨٢
[Yā Sīn]

Sesungguhnya urusan Allāh ﷻ apabila menghendaki sesuatu dengan mengatakan كُن (Jadilah!) maka jadilah apa yang Allāh ﷻ kehendaki.

Adapun iradah syar’iyah maka ini berkaitan dengan kecintaan Allāh ﷻ dan belum tentu apa yang Allāh ﷻ cintai tersebut terjadi/menjadi sebuah kenyataan. Allāh ﷻ menginginkan Islamnya Abu Lahab yaitu Allāh ﷻ senang apabila Abu Lahab beriman kepada Rasulullāh ﷺ masuk islam dia dan juga istrinya, ini adalah iradah syar’iyah Allāh ﷻ berkaitan dengan kecintaan. Apakah iradah syar’iyah tersebut terjadi pada Abu Lahab sehingga dia masuk ke dalam agama Islam? Jawabannya tidak, Allāh ﷻ cinta apabila Abu Lahab masuk ke dalam agama Islam tapi ternyata tidak terjadi. Jadi iradah syar’iyah tidak mengharuskan kejadiannya adapun iradah kauniyah maka mengharuskan kejadiannya, sehingga disini disifati dengan an-nāfilah (yang pasti terjadi).

وَقُدْرَتُهُ الشَّامِلَةُ

Dan beriman dengan kekuasaan Allāh ﷻ yang menyeluruh, dan ini adalah martabat yang kedua dalam derajat ini yaitu martabatul qudrah atau dalam istilah yang lain martabatul khalq tingkatan penciptaan karena al-khalq ini adalah a’dzhomul qudroh, sebesar-besar qudroh adalah al-khalq, yaitu menciptakan dari sesuatu yang tidak ada sama sekali kemudian dia menjadi ada. Maka qudratullāh (kekuasaan Allāh ﷻ) adalah syāmilatun (menyeluruh) sebagaimana Firman Allāh ﷻ

وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ  ١٨٩
[Āli Imran]

Dan Allāh ﷻ Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu, berarti menyeluruh semuanya, dan istilah yang lain adalah martabatul khalq Allāh ﷻ yang menciptakan segala sesuatu menciptakan dzat makhluk dan juga menciptakan sifat-sifat makhluk, maka qudratullāh adalah syāmilah semuanya dan Allāh ﷻ Maha mampu untuk melakukan segala sesuatu, menciptakan makhluk menciptakan sifatnya dan juga menciptakan perbuatannya. Kemudian beliau menyebutkan

وَهُوَ: الإِيمَانُ بِأَنَّ مَا شَاءَ اللهُ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

Dan yang dimaksud adalah beriman bahwa apa yang Allāh ﷻ kehendaki كَانَ (terjadi), kalau Allāh ﷻ menghendaki seseorang tertimpa musibah maka akan terkena, Allāh ﷻ menghendaki seseorang cerdas maka dia akan menjadi cerdas Allāh ﷻ menjadikan seseorang menjadi orang kaya maka akan menjadi orang kaya, akan terjadi, tidak ada yang bisa menolak apa yang Allāh ﷻ kehendaki

مَا شَاءَ اللهُ كَانَ

apa yang Allāh ﷻ kehendaki terjadi, berbeda dengan kita (makhluk) banyak kehendak didalam hati kita dan banyak diantaranya yang tidak terjadi (tidak menjadi kenyataan) adapun kehendak Allāh ﷻ (iradah kauniyah) maka apa yang Allāh ﷻ kehendaki pasti terjadi.

وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

Dan apa yang tidak Allāh ﷻ kehendaki maka tidak akan terjadi, kalau Allāh ﷻ tidak menghendaki terjadinya sesuatu maka abadan mustahil dia akan terjadi, ini namanya masyi’atullāh an-nāfilah ini adalah kehendak Allāh ﷻ yang pasti terlaksana.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullāh pernah mengatakan

مَا شِئْتَ كَانَ، وإنْ لم أشَأْ – وَمَا شِئْتُ إن لَمْ تَشأْ لَمْ يكنْ

Apa yang Engkau kehendaki ya Allāh, terjadi, meskipun aku tidak menghendakinya dan apa yang aku kehendaki kalau Engkau tidak menghendakinya ya Allāh maka tidak akan terjadi. Ini adalah termasuk makna dari beriman dengan masyi’atullāh harus kita yakini demikian, apa yang Allāh ﷻ kehendaki terjadi dan apa yang tidak Allāh ﷻ kehendaki tidak akan terjadi.

Ini kalau dipikirkan oleh seorang hamba dan direnungi maka insya Allāh akan berpengaruh besar terhadap keimanan berpengaruh besar terhadap ketawakalan dia ketergantungan dia kepada Allāh ﷻ, beriman dengan masyi’atullāh. Dan terjadi apapun di depannya baik berupa kenikmatan maupun musibah kalau dia meyakini tentang masyi’atullāh tentang ilmu Allāh ﷻ tentang kitabatullāh maka Allāh ﷻ akan memberikan hidayah kepada hati seseorang.

وَأَنَّهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِنْ حَرَكَةٍ وَلاَ سُكُونٍ؛ إلاَّ بِمَشِيئَةِ اللهِ سُبْحَانَهُ

Dan bahwasanya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi berupa gerakan (sesuatu yang bergerak angin kedipan mata kita detak jantung kita mulut kita yang sedang berbicara) tidak ada di langit maupun di bumi sesuatu yang bergerak dan tidak ada sesuatu yang diam, diamnya rumah yang sedang kita tempati sekarang diamnya benda atau meja yang sedang kita pakai sekarang, dia diam karena Allāh ﷻ menghendaki dia diam sebagaimana Allāh ﷻ yang menghendaki mata kita berkedip dan jantung kita berdetak demikian pula yang menghendaki untuk diamnya meja kita ini adalah Allāh ﷻ, itu bukan diam karena sendirinya jantung kita tidak bergerak karena sendirinya itu karena Allāh ﷻ yang menghendaki, tidak mungkin dia diam dan tidak mungkin dia bergerak kecuali dengan kehendak Allāh ﷻ

إلاَّ بِمَشِيئَةِ اللهِ سُبْحَانَهُ

kecuali dengan masyi’atullāh, ini juga kalau direnungi seseorang maka akan merasakan kedekatan dengan Allāh ﷻ, melihat sesuatu ingat Allāh ﷻ bahwasanya Allāh ﷻ tidak menjadikan barang ini diam kecuali dengan kehendak Allāh ﷻ, di tengah lalainya manusia dengan faedah-faedah seperti ini kemudian dia memikirkan tentang ciptaan Allāh ﷻ dan segala sesuatu adalah dengan masyi’atullāh maka ini akan menggiring seseorang untuk dekat kepada Allāh ﷻ

لاَ يَكُونُ فِي مُلْكِهِ مَا لاَ يُرِيدُ

Tidak ada di dalam kerajaan-Nya sesuatu yang tidak Dia inginkan, tidak mungkin ada misalnya makhluk mati tanpa keinginan dari Allāh ﷻ, tidak mungkin batu terbang tanpa keinginan dari Allāh ﷻ, tidak ada di dalam kerajaan Allāh ﷻ sesuatu yang terjadi bukan dengan kehendak Allāh ﷻ, pasti semuanya adalah dengan kehendak Allāh ﷻ.

وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan bahwasanya Allāh ﷻ Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu, sekarang masuk pada penjelasan martabatul qudrah atau al-khalq yaitu bahwasanya Allāh ﷻ semoga Allāh ﷻ Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu

مِنَ الْمَوْجُودَاتِ وَالْمَعْدُومَاتِ

baik perkara tersebut adalah sesuatu yang ada ataupun sesuatu yang tidak ada, yang ada Allāh ﷻ mampu untuk menjadikan dia tidak ada dan yang tidak ada Allāh ﷻ mampu untuk menjadikan dia ada.

مَا مِنْ مَخْلُوقٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ إلاَّ اللهُ خَالِقُهُ سُبْحَانَهُ

Maka tidak ada sesuatu yang diciptakan di langit maupun di bumi, sesuatu yang diciptakan bisa berupa dzat bisa berupa sifat (sifat pemarah sifat pemaaf itu diciptakan juga oleh Allāh ﷻ) ibadah/ ketaatan maupun maksiat, maka tidak ada sesuatu yang diciptakan di langit maupun di bumi kecuali Allāh ﷻ Dia-lah yang menciptakan. Berarti inilah martabatul qudrah atau martabatul al-khalq, Allāh ﷻ mengatakan

ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ
[Az-Zumar:62]

Allāh ﷻ Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu.

Disana ada yang diciptakan Allāh ﷻ secara langsung seperti hewan dan disana ada yang diciptakan oleh Allāh ﷻ secara tidak langsung tapi melalui perantaraan manusia, manusia yang secara langsung membuat laptop ini tapi siapa yang menciptakan manusia siapa yang menciptakan besi siapa yang menciptakan bahan-bahan yang dipakai untuk laptop ini, Allāh ﷻ Dia-lah yang menciptakan, berarti kembali semuanya Allāh ﷻ yang menciptakan segala sesuatu.

لا خَالِقَ غَيْرُهُ، وَلاَ رَبَّ سِوَاهُ

Tidak ada pencipta selain Allāh ﷻ di alam semesta ini

… هَلۡ مِنۡ خَٰلِقٍ غَيۡرُ ٱللَّهِ…
[Fāthir:3]

Apakah ada pencipta selain Allāh ﷻ, Allāh ﷻ yang menciptakan semuanya dzatnya sifatnya maupun keadaan keadaan seseorang

وَلاَ رَبَّ سِوَاهُ

dan tidak ada Rabb selain Allāh ﷻ, dan Rabb ini terkandung didalamnya yang pertama adalah Al-Khaliq (yang menciptakan) Ar-Raziq (yang memberikan rezeki) Al-Mudabbir (yang mengatur) atau Al-Muslih lighairihi (yang memperbaiki yang lain), berarti Rabb disini lebih umum daripada Khāliq, kalau Rabb ini mencakup didalamnya yang mengatur memberikan rezeki mencipta

إلاَّ اللهُ خَالِقُهُ سُبْحَانَهُ، لا خَالِقَ غَيْرُهُ، وَلاَ رَبَّ سِوَاهُ

Dan di dalam ayat yang lain Allāh ﷻ mengatakan

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ  ٩٦
[Ash-Shaffat]

Dan Allāh ﷻ yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan, berarti kalian diciptakan oleh Allāh ﷻ dan apa yang kalian lakukan apa yang kalian kerjakan berupa sifat berupa ibadah berupa maksiat itu adalah Allāh ﷻ yang menciptakan juga. Dan Nabi ﷺ mengatakan

إن الله خلق كل صانع وصنعته

Sesungguhnya Allāh ﷻ Dia-lah yang menciptakan segala pelaku atau semua pelaku dan apa yang dia lakukan, jadi pekerjaan dia yang menciptakan adalah Allāh ﷻ pelakunya juga yang menciptakan adalah Allāh ﷻ.

Ada yang mengatakan bahwasanya atas dasar apa pembagian menjadi 2 derajat, ada yang mengatakan bahwasanya derajat yang pertama ini adalah dua perkara yang mendahului al-maqdur (yang ditakdirkan), al-qadar atau takdir yang mendahului al-maqdur, al-‘ilm wal kitabah dulu sebelum terjadinya yang ditakdirkan. Adapun derajat yang kedua yaitu al-masyi’ah dengan al-qudrah atau martabatul masyi’ah dan martabatu al-khalq maka ini bersamaan dengan maqdurnya (bersamaan dengan apa yang ditakdirkan), jadi derajat yang pertama sabiqatun lil maqdur adapun derajat yang kedua maka ini mushahibatun lil maqdur (berbarengan atau bersamaan dengan apa yang ditakdirkan oleh Allāh ﷻ).

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى