Halaqah 23 ~ Penjelasan Pokok Ke Enam Bagian 2

📘 Silsilah Ilmiyyah Belajar Aqidah
🔊 Halaqah 23 ~ Penjelasan Pokok Ke Enam Bagian 2

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين


Halaqah yang ke-dua puluh tiga dari Silsilah Ilmiyyah Penjelasan Kitab Ushulu AsSittah, sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh, adalah tentang Penjelasan Pokok Ke enam Bagian 2.

Beliau rahimahullāh mengatakan:

Apa itu mujtahid?

Mereka mengatakan yang dimaksud dengan mujtahid adalah yang memiliki sifat ini dan itu, sifat-sifat yang mungkin tidak dimiliki oleh seseorang seperti Abū Bakar dan Umar.

Sebagian mereka mengatakan seorang mujtahid yang boleh memahami Al Qur’ān, yang boleh memahami hadīts, maka dia harus menghapal seluruh hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.Dan ini belum tentu dimiliki oleh seseorang yang paling afdhal diantara kaum muslimin seperti Abū Bakar dan Umar kata beliau.

Karena seperti Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, tidak semua hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sampai kepada beliau radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, disana ada beberapa hadīts yang tidak sampai kepada Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu (seperti) ketika beliau didatangi oleh seorang nenek yang bertanya tentang bagiannya dari harta warisan.

Dan ketika ditanya, maka Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu tidak mengetahui tentang bagian seorang nenek dari harta warisan. Kemudian sebagian shahābat mengabarkan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberi seorang nenek 1/6 dari harta warisan. Menunjukkan bahwasanya tidak semua hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sampai kepada Abū Bakar radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.

Demikian pula Umar ada bebapa hadīts yang tidak sampai kepada beliau, sebagaimana ketika sebagian shahābat mengabarkan tentang hadītsul istidzan. Hadīts yang isinya adalah diantara adab meminta izin ketika bertamu, apabila seseorang mengetuk pintu 3 kali maka hendaklah dia meninggalkan rumah tersebut. Dan ini tidak diketahui oleh Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, menunjukkan bahwasanya ada beberapa hadīts yang tidak sampai kepada Umar bin Khaththāb.

Demikian pula ketika beliau radhiyallāhu ta’āla ‘anhu bersama sebagian shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, ketika mereka akan memasuki kota Syām, dizaman ke khalifahan Umar bin Khaththāb. Namun ternyata disana ada thā’ūn (tersebar wabah penyakit) sehingga saat itu para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum diajak bermusyawah oleh Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, “Apakah kita akan pulang kembali ke kota Madīnah atau kita terus memasuki kota Syām yang disitu sedang tersebar wabah penyakit (sedang tersebar thā’ūn)”.

Para shahābat saling bermusyawah kemudian setelah itu datang Abdurrahmān bin Auf, mengabarkan kepada Umar bin Khaththāb bahwasanya saya punya ilmu didalam masalah ini. Saya mendengar Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa mendengar atau barangsiapa yang berada didalam sebuah kota yang didalamnya ada thā’ūn maka janganlah dia keluar dari kota tersebut, dan apabila dia berada diluar maka janganlah dia memasuki kota tersebut”

Demikianlah makna dari hadīts yang disampaikan oleh Abdurrahmān bin Auf. Dan ini sesuai dengan ijtihād Umar saat itu yang memang setelah bermusyawarah beliau mengambil pendapat dan menguatkan pendapat untuk kembali ke kota Madīnah.

Ini menunjukkan bahwa ada sebagian hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang tidak sampai kepada Abu Bakar dan juga Umar radhiyallāhu ta’āla ‘anhumā tetapi diketahui dan sampai kepada shahābat yang lain.

Dan ini sebagian orang mengatakan bahwasanya seorang mujtahid harus menghapal seluruh hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang ini kata beliau mungkin tidak didapatkan secara sempurna pada seseorang seperti Abū Bakar dan Umar.

Dan tujuan ucapan ini adalah:

√ Untuk memalingkan manusia dari Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
√ Supaya mereka tidak mau memahami Al Qur’ān dan hadīts.
√ Supaya mereka didalam agamanya hanya melakukan taqlid buta yang tercela.

Kemudian Beliau rahimahullāh mengatakan:

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ الْإِنْسَانُ كَذَلِكَ فَلْيُعْرِضْ عَنْهُمَا فَرْضًا حَتْمًا لَا شَكَّ وَلَا إِشْكَالَ فِيْهِ

Kemudian dia mengatakan apabila seseorang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka hendaklah dia berpaling dari Al Qur’ān dan Sunnah tersebut, dan ini adalah wajib yang tidak ada keraguan didalamnya dan tidak ada masalah didalamnya.

Ini adalah ucapan sebagian orang, apabila seseorang tidak memiliki syarat-syarat tersebut, maka hendaklah dia berpaling dari Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan ini menurut mereka adalah kewajiban.

Wallāhu Ta’āla A’lam

Itulah yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya

وبا لله التوفيق والهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Saudaramu,
Abdullāh Roy