Orang tua adalah orang yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan baik bagi seorang anak. Namun seringkali masalah nafkah untuk orang tua menjadi polemik di kalangan sebagian anak. Mereka saling lempar tangan untuk urusan menafkahi orang tua. Allahul musta’an.
Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah telah membahas tentang masalah nafkah untuk kerabat dalam kitab fikih dasar madzhab Syafi’i, Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib.
Abu Syuja’ menyatakan bahwa nafkah untuk kedua orang tua itu wajib.
Nafkah anak untuk kedua orang tua dihukumi wajib ketika memenuhi dua syarat:
- Miskin dan tidak kuat dalam mencari nafkah, atau
- Miskin dan gila (hilang ingatan)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya, sedangkan anak itu adalah hasil usaha orang tua.” (HR. Abu Daud, no. 3528; An-Nasai dalam Al-Kubra, 4: 4. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Termasuk dalam bentuk ihsan adalah menafkahi kedua orang tua ketika mereka butuh.
Ketika orang tua masih hidup, maka kita para anak hendaknya berusaha berlomba-lomba berbakti kepada orang tua semaksimal mungkin. dari Abu Ibni Malik dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا ، ثُمَّ دَخَلَ النَّارَ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ ، فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ وَأَسْحَقَهُ
“Barangsiapa yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup atau salah satunya, lalu setelah itu ternyata ia masuk neraka, maka Allah akan masukan ia lebih dalam lagi ke dalam neraka” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, 4/344. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2/42-43).
Maka hendaknya jangan menunggu jatuhnya kewajiban untuk menafkahi, namun hendaknya bersegera memberikan segala kebaikan yang dimampui kepada orang tua. Karena orang tualah orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan paling maksimal dari kita. Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi:
يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
“wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
رغمَ أنفُ ، ثم رغم أنفُ ، ثم رغم أنفُ قيل : من ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال : من أدرك أبويه عند الكبرِ ، أحدَّهما أو كليهما فلم يَدْخلِ الجنةَ
“Kehinaan, kehinaan, kehinaan“. Para sahabat bertanya: “siapa wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab: “Orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup ketika mereka sudah tua, baik salah satuya atau keduanya, namun orang tadi tidak masuk surga” (HR. Muslim no. 2551)
Demikian juga hendaknya kita para anak tidak saling melempar tanggung jawab dalam berbakti kepada orang tua. Namun hendaknya berusaha terdepan dan berlomba-lomba dalam berbakti kepada orang tua walaupun belum jatuh kewajiban pada diri kita. Karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu pintu surga. Siapa yang bersegera dan berusaha terdepan, akan memasukinya. Sedangkan yang berlambat-lambat atau menyia-nyiakan, bisa jadi akan terluput dari pintu tersebut. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الوالِدُ أوسطُ أبوابِ الجنَّةِ، فإنَّ شئتَ فأضِع ذلك البابَ أو احفَظْه
“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua kalian” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “hadits ini shahih”).
Adapun dalil ijma’ (sepakat ulama) disebutkan oleh Ibnul Mundzir. Ibnul Mundzir menyatakan bahwa para ulama sepakat, wajib bagi anak memberi nafkah untuk kedua orang tuanya yang fakir yaitu tidak punya pekerjaan apa-apa dan juga tidak punya harta. Begitu pula wajib bagi seseorang memberikan nafkah pada anak yang tidak punya harta. Karena anak merupakan bagian dari orang tuanya. Karenanya ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, begitu pula memberi nafkah pada anak dan orang tua (ashlu-nya). Oleh karenanya jika seorang ibu tidak lagi memiliki suami, maka ia wajib memberikan nafkah untuk anaknya. Demikian pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Dinukil dari Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, 11; 373.
Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Sumber artikel : muslim.or.id , rumaysho