Halaqah 93 ~ Hadits-Hadits Yang Berkaitan Dengan Penjelasan Nama dan Sifat Allah ﷻ ~ Muqoddimah Bag 02

Halaqah 93 ~ Hadits-Hadits Yang Berkaitan Dengan Penjelasan Nama dan Sifat Allah ﷻ ~ Muqoddimah Bag 02

📘 Halaqah Silsilah Ilmiyah – Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله


Halaqah yang ke-93 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-‘Aqīdah Al-Wāsithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Hadits-hadits yang merupakan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allāh ﷻ. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullāh

تُفَسِّرُ الْقُرآنَ

Fungsi dari sunnah Rasulullāh ﷺ diantaranya adalah menjelaskan apa yang ada di dalam Al-Qur’an

وتُبَيِّنُهُ

dan juga menjelaskan apa yang ada di dalam Al-Qur’an

وتَدُلُّ عَلَيْهِ

dan menunjukkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an

وتُعَبِّرُ عَنْهُ

dan mengibaratkan atau mengungkapkan apa yang ada dalam Al-Qur’an

Sunnah ini menafsirkan Al-Qur’an sebagaimana contohnya ketika kita membahas tentang ru’yatullāh

لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang ihsan maka mereka mendapatkan al-husna (surga) dan mereka mendapatkan tambahan.

Maka Nabi ﷺ menafsirkan ayat ini mendatangkan hadits bahwasanya kelak di Hari Kiamat akan ada yang memanggil penduduk surga wahai penduduk surga sesungguhnya kalian memiliki perjanjian dengan Allāh ﷻ dan Allāh ﷻ ingin menunaikan janji tersebut, kemudian mereka mengatakan bukankah Allāh ﷻ telah memasukkan kami ke dalam surga, bukankah Allāh ﷻ telah menyelamatkan kami dari neraka dan memutihkan wajah-wajah kami kemudian Allāh ﷻ menyingkap hijabnya dan merekapun melihat wajah Allāh ﷻ dan mereka merasa bahwasanya mereka tidak diberi kenikmatan yang lebih nikmat daripada melihat wajah Allāh ﷻ, inilah yang dimaksud dengan ziyadah (tambahan).

Berarti di sini diantara fungsi sunnah Rasulullāh ﷺ adalah menafsirkan apa yang ada didalam Al-Qur’an, kadang menafsirkan tentang lafadznya, terkadang disebutkan tentang sababun nuzulnya dan ini adalah termasuk cara menafsirkan Al-Qur’an, terkadang ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh ayat Al-Qur’an yang lain seperti misalnya Firman Allāh ﷻ

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ  ٦

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ

orang-orang yang Engkau berikan nikmat, siapa mereka? ditafsirkan oleh Allāh ﷻ di dalam surat An-Nisa’

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقٗا  ٦٩

Maka mereka bersama orang-orang yang Allāh ﷻ berikan nikmat kepada mereka, dan disini Allāh ﷻ merinci; dari kalangan para nabi, shiddīqīn, para syuhada, orang-orang yang soleh.

Dengan kita mempelajari sunnah maka akan jelas apa yang ada di dalam Al-Qur’an, kita mengetahui tafsirnya, dan Nabi ﷺ adalah orang yang paling memahami Al-Qur’an dan sebaik-baik orang yang menafsirkan Al-Qur’an.

وتُبَيِّنُهُ

dan Sunnah ini menjelaskan, dan makna menjelaskan agak berbeda dengan tufassir, tubayyin disini maksudnya kadang memperinci, sebenarnya sudah jelas tapi di perjelas dan diperinci di dalam Sunnah, contohnya misalnya tentang masalah shalat dan zakat, Allāh ﷻ mengatakan

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ

Dan hendaklah kalian mendirikan shalat, perincian waktunya kapan berapa raka’at apa yang dibaca ketika ruku’ ketika sujud semuanya diperinci didalam sunnah Nabi ﷺ, tidak akan kita dapatkan dalam ayat, ini namanya sunnah tubayyin, yaitu menjelaskan memperinci. Kemudian juga Firman Allāh ﷻ hendaklah kalian membayar zakat, perincian tentang zakat apa saja yang dizakati berapa nishabnya dan ketentuan-ketentuan yang lain banyak disebutkan oleh Nabi ﷺ didalam sunnahnya. Kalau seseorang hanya mencukupkan diri dengan Al-Qur’an bagaimana dia bisa melaksanakan shalat lima waktu dengan baik, bagaimana seseorang bisa melaksanakan syi’ar zakat dengan baik dan kebanyakan disebutkan oleh Nabi ﷺ didalam sunnah Beliau ﷺ.

وتَدُلُّ عَلَيْهِ

Dan sunnah ini menunjukkan kepada Al-Qur’an, ada yang mengatakan bahwasanya kalimat ini lebih umum daripada tafsir dan juga tabyin

وتُعَبِّرُ عَنْهُ

Dan dia mengungkapkan, terkadang maknanya ada di dalam Al-Qur’an kemudian di ungkapkan di dalam hadits dengan makna-makna yang baru dengan lafadz yang lain dan maknanya hampir sama, wallāhu a’lam diantaranya Firman Allāh ﷻ

لَّا يَمَسُّهُۥٓ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ ٧٩

[Al-Wāqi’ah]

Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ mengatakan

لا يمس القرآن إلا طاهر

Wallāhu a’lam disini mungkin bisa menjadi contoh tentang ungkapan tadi.

Beliau rahimahullāh mengatakan

وَمَا وَصَفَ الرَّسُولُ بِهِ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ الَّتِي تَلَقَّاهَا أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِالْقَبُولِ؛ وَجَبَ الإيمَانُ بِهَا كَذَلِك

Dan apa yang disifati oleh Rasul ﷺ atau apa yang Rasulullāh ﷺ sifat dengan-Nya Allāh ﷻ, baik sifat fi’liyyah maupun dzatiyyah baik yang khobariyyah maupun yang aqliyyah

مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ

Diantara hadits-hadits yang shahih, ingat disini kita menggunakan hadits-hadits yang shahih yaitu hadits-hadits yang terpenuhi syarat shahihnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adl, dan mereka rawi-rawi yang kuat hafalannya baik yang sangat kuat maupun yang kurang dari pada itu tidak sampai sekuat yang pertama, kemudian sanadnya bersambung dan tidak ada di dalamnya penyelisihan terhadap hadits yang lain yang lebih shahih, dan tidak ada didalamnya illah (penyakit), termasuk didalamnya hadits yang shahih maupun yang hasan.

الَّتِي تَلَقَّاهَا أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِالْقَبُولِ

Yang diterima oleh ahlul ma’rifah dengan penerimaan, yang dimaksud dengan ahlul ma’rifah disini adalah ahlul hadits / ahlul ‘ilm, jadi yang menerima hadits tadi yang menghukumi hadits tadi dan menyatakan bahwasanya itu adalah hadits yang shahih adalah ahlul ma’rifah, kita tidak bicara tentang orang yang bukan ahlul ma’rifah, mungkin sana ada ahlul bid’ah ahlul ahwa yang mereka menshahihkan sesuai dengan hawa nafsunya dan mendha’ifkan sesuai dengan hawa nafsunya, ini kita tidak menoleh kepada yang demikian.

Yang kita pakai adalah ucapan para muhadditsun ahlul ma’rifah yang mereka memang mengenal hadits Nabi ﷺ dengan baik karena mereka bergelut semenjak mereka masih kecil mereka masih muda makanan mereka adalah hadits Nabi ﷺ, menghafal melakukan rihlah mudzakarah sehingga mereka sangat mengenal hadits-hadits Nabi ﷺ sebagaimana seorang tukang emas mereka sangat mengenal mana logam yang merupakan emas dan mana yang bukan, sesuai dengan pengalaman mereka maka akan terlihat kemahiran mereka dalam membedakan antara emas dengan yang selain emas, sebelum memegang saja sebelum mencoba saja dia sudah tahu ini emas dan ini bukan emas, ini tukang-tukang emas.

Dan ini disebutkan oleh sebagian ahlul hadits bahwasanya para ulama ahlul hadits itu sebagaimana mereka yaitu tukang-tukang emas yang sangat-sangat bisa membedakan mana yang hadits dan mana yang bukan hadits Nabi ﷺ, tidak bisa ditipu meskipun seseorang mendatangkan ucapan yang māsyā Allāh seperti ucapan Rasul ﷺ dengan peribahasa yang tinggi dengan bahasa yang tinggi kemudian mendatangkan sanad, dipilih sanad-sanad yang muttashil dengan rawi-rawinya yang dzabithun tapi dengan mudah akan dibongkar oleh para muhadditsun para ahli hadits pada ahlul ma’rifah.

Maka yang kita jadikan dalil disini adalah hadits-hadits yang shahih, berarti ucapan beliau الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ kita tidak menerima hadits-hadits yang dha’if apalagi hadits yang palsu dalam mensifati Allāh ﷻ, kita hanya menerima hadits yang shahih saja yang telah diterima oleh para ahli hadits dan dihukumi bahwasanya itu adalah hadits hasan atau shahih, kalau memang itu adalah dari Rasulullāh ﷺ

وَجَبَ الإيمَانُ بِهَا كَذَلِك

maka wajib untuk beriman dengannya كَذَلِك demikian pula, وَجَبَ berarti dia adalah sesuatu yang wajib / harus, kalau sampai tidak beriman dengan apa yang datang dari Rasulullāh ﷺ maka dia telah melakukan kesalahan yang besar, melakukan dosa, Allāh ﷻ mengatakan

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kalian beriman kepada Allāh ﷻ dan juga Rasul-Nya, ini adalah perintah dan asal dari perintah adalah sebuah kewajiban

كَذَلِك

Demikian pula, yaitu sebagaimana kita beriman dengan Al-Qur’an maka kita juga beriman dengan hadits Nabi ﷺ, dan didalam hadits-hadits Nabi ﷺ banyak di sana sifat-sifat Allāh ﷻ yang Beliau ﷺ sebutkan, banyak diantaranya adalah sifat-sifat yang mutsbatah (ditetapkan) bagi Allāh ﷻ sebagaimana nanti akan disebutkan satu persatu oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tentang sifat farah sifat nuzul sifat tertawa bagi Allāh ﷻ sifat heran maka kita tetapkan apa yang datang dari Rasulullāh ﷺ baik sifat-sifat yang mutsbatah maupun sifat-sifat yang manfiyah sebagaimana kita mengimani itu di dalam Al-Qur’an.

Yaitu kita tetapkan tanpa kita mentahrif tanpa kita menta’til tanpa kita mentakyif tanpa kita mentamtsil, tidak boleh kita mentahrifnya baik tahrif yang lafadz maupun yang makna dan tidak boleh kita menta’til yaitu menolaknya, tidak boleh kita mentakyif yaitu menyebutkan tentang kaifiyahnya dan tidak boleh kita mentamtsil yaitu menyerupakan menyerupakan Allāh ﷻ dengan sifat makhluk, tapi kita tetapkan sesuai dengan keagungan Allāh ﷻ sebagaimana telah kita ulang berkali-kali ketika menyebutkan sifat-sifat yang ada di dalam Al-Qur’an

كَذَلِك

Maka dalam hadits Nabi ﷺ juga demikian, apa yang datang dari Beliau ﷺ kita tetapkan sebagaimana kalau itu datang dari Al-Qur’an dan kita yakini bahwasanya sifat tersebut sesuai dengan keagungan Allāh ﷻ dan tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى